Part 3

141 9 1
                                    

{Rasa}

Cafe star, salah satu cafe elite milik mendiang ayah Adrian. Tempat ini disulap menjadi tempat nongkrong  Warlocks, bagi Gibran mereka semua adalah saudara dan pengganti keluarga.

Warlocks berkisar hanya tiga puluh orang, angka yang kecil jika dibandingkan dengan geng motor lain. Tapi, angka tidak menjadi masalah. Mereka saudara, solidaritas tanpa batas.

Satu sakit yang lain tidak akan nangis, mereka akan bantu untuk bangkit dari sakit. Ada yang bahagia? Mereka akan membuatnya lebih bahagia. Itulah Warlocks yang dipandang orang dengan sebelah mata.

Mereka tidak nakal, tidak beruntal, tidak melanggar. Hanya saja mereka ingin dipandang, ingin dianggap, ingin diakui keberadaannya dan hanya di Warlocks mereka mendapat itu semua.

Heningnya malam mampu dimanipulasi oleh Warlocks, adanya mereka mampu membuat sunyi menjadi riuh. Seperti malam ini, tidak peduli seberapa gelap langit malam, mereka masih saja tertawa bercanda gurau seolah tidak ada masalah.

Hingga seorang gadis dengan berani menginjakkan kaki di wilayah Warlocks, hening seketika. Tidak ada yang bicara beberapa detik, pandangan mereka masih tertuju pada gadis berambut panjang ini.

"Ngapain kesini dek?" Tanya satu diantara mereka.

"Sendiri aja, temenin aa lah" Sahut yang lain.

Banyak yang mencoba menggoda Agatha, dia tidak peduli dengan itu semua. Mata coklatnya masih menyapu seluruh ruangan, nampaknya orang yang dia cari tidak ada.

Tanpa peduli Agatha ingin kembali keluar cafe, hingga seseorang menarik tangannya secara paksa.

"Nantilah perginya temenin abang dulu"

"NAJIS!!"

Yang lain hanya diam dan menonton tanpa memberi perlindungan untuk gadis malang ini, hingga seseorang datang tanpa terduga mengubah atsmosfir didalamnya.

Siapa lagi jika bukan Gibran? Agatha begitu mengenal suara berat dan dingin miliknya. Pandangan matanya tidak terbaca, senyumnya sangat langka. Dan semua tentangnya selalu menjadi rahasia, dan tanpa sadar kini Agatha mungkin mulai menyukainya.

"Lepas!!"

Tanpa diminta dua kali orang itu melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan Agatha, si gadis meringis kesakitan.

Tidak peduli dengan rasa sakit yang Agatha rasakan, Gibran pergi dari hadapan Agatha dan Warlocks.

Dengan menahan sedikit sakit Agatha menyusul Gibran yang terus menjauh dari keramaian, Agatha terus meneriaki Gibran. Namun, itu semua hanya dianggap angin lalu bagi seorang Gibran.

Bukan Agatha namanya jika menyerah, dia terus menyeimbangi langkah kecilnya dengan Gibran.

"Tunggu gue cape"

Agatha berhenti, mencoba mengatur nafas. Gibran yang merasa tidak dikejar lagi berlari kecil kearah si gadis, Agatha menatap tidak berkejip. Nikmat manakah yang tuhan dustakan? Batin Agatha.

Tanpa Ba, Bi, Bu Gibran dengan gagah menopang tubuh Agatha dibahu kirinya. Agatha memberikan sedikit perlawanan, dia menepuk-nepuk tubuh Gibran dan mengeluarkan senjata ampuh cewek. Apa lagi kalau bukan teriakan cempreng?

"Turunin gue"

Bruk...
Tanpa bersalah Gibran benar-benar melakukannya, dia melepas Agatha dan menjatuhkannya ke lantai yang becek.

"Lo cowok apa bukan sih? Gak punya hati"

"Lo yang nyuruh goblok"

Mata Agatha mulai berkaca-kaca, jangan tanya kenapa. Dia memang cengeng, tidak suka dibentak. Tapi, suka membentak.

Dear GibranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang