Bab 4

173 11 2
                                    

                       {Tentang dia}   

Agatha menghembuskan nafasnya gusar, tidak ada yang dia pikirkan selain pulang dan berbaring dengan nyaman. Hari ini begitu sulit, banyak materi yang tidak bisa dia pahami dengan baik.

Dia merapikan buku-buku yang berserakan diatas meja, Fany sudah pulang terlebih dahulu dan Arka entahlah dia suka menghilang tanpa terduga.

Setelah selesai, Agatha bangkit dari duduknya dan melangkah keluar kelas. Betapa terkejutnya dia, saat menyadari orang ini menunggu sedari tadi dengan airpon yang terpasang di kedua telinga.

"Lo nungguin gue"

Gibran melepas airponsnya, ditatapnya gadis ini lekat.

"Lo pulang bareng gue"

"Kalau gak mau?"

"Gue gak maksa, tapi lo gak boleh nolak"

"Itu namanya maksa"

Tidak peduli dengan perotes Agatha selanjutnya, Gibran menggandeng gadis ini secara paksa.

Banyak mata yang menatap iri kearah mereka, tidak ada yang rela seorang Gibran yang mereka idolakan harus dekat dengan cewek lugu si kutu buku.

Agatha menatap kearah tangannya yang di pegang Gibran erat, dia seperti takut kehilangan Agatha. Seulas senyum diwajah cantik Agatha, tidak ada kata yang mampu mendefinisikan apa yang dia rasa.

Semua ini terlalu sulit dijelaskan dengan kata, ini pertama kali Agatha merasakan apa itu jatuh cinta? Saat suaranya saja sudah mampu membuat hatinya berbunga-bunga.

"Naik motor?"

Gibran tersenyum, matanya tidak beralih dari manik indah mata Agatha. Tidak bisa dipungkiri, ditatap seperti ini saja sudah mampu membuat kedua pipi si gadis menjadi merah muda.

Tingkah Gibran memang tidak bisa dibaca, dia melepas jaket yang membelut tubuhnya.

"Ini buat nutupi paha lo"

Agatha mengangguk paham, tuhan jika saja Gibran melakukan itu lagi Agatha tidak akan mampu memprediksikan reaksi tubuh dia selanjutnya. Mungkin Agatha akan pingsan dibuatnya, ini kali pertama dia jatuh cinta dan tuhan terlalu membuatnya bahagia.

Meraka hanya diam, tidak ada yang memulai bicara. Bungkan menahan kegugupan satu sama lain, dari sedekat ini Agatha mampu mencium bau apel hijau dari parfum yang Gibran kenakan.

Perjalanan terasa singkat dirampas waktu, meski begitu setiap momen yang meraka lakukan bersama selalu diabadikan diingatan masing-masing.

"Kita makan yuk"

"Kemana?"

***

Gibran menap bingung, ini tidak terlihat seperti rumah makan. Agatha sudah terlebih dahulu masuk, dengan langkah santai Gibran mengikuti gadis itu.

Seorang wanita paruh baya menyambut Gibran dengan senyuman, dia cantik walau banyak keriput diwajah dan sekitar lehernya. Namun, itu semua tidak mengurangi paras cantik dan sikap ramahnya.

Si ibu mempersilahkan Gibran masuk, sebelum itu Gibran menarik tangan Agatha agar sejajar dengan langkahnya.

"Katanya mau makan"

"Iya, makan dirumah gue"

"Ini rumah lo"

Gibran menatap iri kearah Agatha, betapa akurnya dia dengan ibunya. Gadis ini terlahir dari keluarga yang harmonis, sangat bertolak belakang dengan kondisi keluarga Gibran.

Dimeja makan sudah banyak sayur dan lauk sederhana yang disediakan Ibunya Agatha, dia begitu ramah dengan tamu. Gibran hanya diam menatap, dia sedikit canggung makan bersama Agatha dan ibunya.

"Den Gibran temen apa pacar nih?"

"Calon pacar bu" Agatha yang menjawab, Gibran terkejut dengan jawaban gadis ini. Bahagia berpihak padanya, tidak ada cinta bertepuk sebelah tangan dikisahnya kali ini.

Setelah dia semoga Agatha adalah gadis terakhir yang tuhan hadiahkan untuk menemari hari suram Gibran, semoga hanya itu yang selalu Gibran harapkam.

***

Bisinganya suara motor dan cenda gurau Warlocks tetap sunyi rasanya tanpa kehadiran Agatha disisi Gibran, berpisah dengan gadis itu sebentar saja sudah membuat Gibran rindu.

Dia tidak paham dengan apa yang dia rasakan kini, meski Agatha bukan yang pertama. Tapi, entah kenapa perasaan tidak karuan ini hanya bisa Gibran rasakan saat bersama Agatha.

"Akhir-Akhir ini lo keliatan gelisah, ada masalah?"

"Enggak"

"Lo sudah pulang kerumah?"

"Buat apa?"

Adrian melemparkan satu surat kabar, Gibran berdecak kesal. Untuk apa semua ini, ayahnya memasang berita kehilangan atas nama Raynandho Gibran Bramatha.

"Bramatha bodoh" Gumamnya.

"Gimana pun dia ayah lo"

"Sejak ibu gue meninggal, gue gak pernah punya ayah atau keluarga"

Mood Gibran kembali buruk, Adrian tidak ingin membuatnya lebih buruk. Dia hanya diam tanpa komentar, dia paham betul masalah sulit yang sedang Gibran rasakan.

"Gibran" Panggil seseorang lirih.

Tentu Gibran sangat mengenal suara halus ini, dia sangat mengenal tubuh mungil gadis ini dan dia juga sangat mengenal liciknya seorang Geby.

Adrian pergi meninggalkan Gibran dan gadis ini, mereka saling melempar pandang. Tatapan Gibran sangat dingin, namun membakar. Mampu membuat si gadis menunduk ketakutan, dia mengumpulkan keberanian untuk kembali berhadapan dengan cowok kulkas ini.

"Lo harus pulang!"

"Lo yang seharusnya jangan disini"

"Gue tau lo kecewa, Gibran mau gimana pun itu kita sekarang saudara"

"Jangan bermimpi"

Gibran mencoba menjauh dari gadis ini, si gadis terus mengikuti Gibran.

"Gue mau tunangan"

Gibran diam, dia kembali menatap gadis itu berharap apa yang dia katakan hanyalah sebuah kebohongan.

"Gue gak peduli"

"Gamungkin, gue tau lo masih sukakan sama gue"

"Lo terlalu percaya diri, lagi pula gue udah dapat yang jauh lebih baik dari cewek iblis kaya lo!!"

Diam, hanya itu yang mampu Geby lakukan. Ini semua bukan kemauannya, hatinya terlalu sakit. Setiap kata-kata Gibran terekam jelas di memori dan berubah menjadi duri.

Jujur saja, perasaan itu masih sama. Geby tidak pernah berubah, dia tetap semanis dulu hanya saja keadaan memaksanya untuk berpura-pura. Dia tidak ingin Gibran melupakannya, apalagi sampai mencari pengganti dirinya.

"Syukurlah, gue harap lo bahagia"

"Iya, gue sangat bahagia"

Geby pergi meninggalkan Gibran kembali ditelan sunyi, hatinya begitu hancur saat menerima kenyataan Gibran dan semua rasa yang teramat besar itu hilang sudah. Kenyataan ini begitu perih, sangat mengoris hingga kelubuk hati.

Dear GibranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang