Pagi ini, kujumpai lagi punggung ayah berbalut kain mewah. Jas katanya. Sambil menggenggam kunci mobil yang terparkir di garasi. Ia melenggang dari pintu rumah yang langsung menjumpanya pada teras dengan se-set bangku meja untuk baca koran dan menerima tamu sambil menuang kopi yang beriring kicau burung jawara di kandang. Melangkah sedikit ke depan, akan kau jumpai taman dengan bermacam bunga dan tanaman yang indah rupawan. Namun langkah ayah bukan ke sana, melainkan menuju mobil yang sedari tadi ia panaskan.
Tak berselang lama giliran ibu yang punggungnya terbit di ufuk mata. Pagi ini ibu wangi dan segar, dibalut baju yang menawan bertabur berlian. Baju itu pemberian suaminya di ulang tahun yang ketiga puluh empat, aku masih ingat betul ayah memberinya ketika pulang dengan keadaan basah kehujanan, baju sobek tak karuan dan wajah yang penuh lebam, sambil meringis ia bilang, ini terakhir kalinya aku berpura-pura menyedihkan untuk ulang tahunmu sayang.
Ayah dan ibu pergi tamasya sebentar katanya, mengenang masa muda. Sesekali memang perlu, apalagi ini ulang tahun pernikahannya. Mereka harus menjaga keharmonisan di tengah sibuk ayah sebagai seorang pengacara dan ibu sebagai pengusaha.
***
Begini, sebenarnya itu hanya khayalanku saja. Tak pernah terpikirkan untuk berbohong begini semenjak Bu Ratih guru PKn di sekolah bertanya apa pekerjaan ayah ibuku, di situ kukatakan ayah seorang pengemis tangguh yang terus memasak telapak tangannya, lalu ibu seorang wanita genit yang obral badan di rumah bordil.
Begitu polos adanya rahang ini berkata tanpa sedikit pun bualan dan dugaan, sehingga tak kusadari satu kelas sudah terpingkal, terbahak dan menohok tiada sopan.

KAMU SEDANG MEMBACA
1 : 3
NezařaditelnéBuku ini berusaha menyajikan tema-tema menarik diiringi 3 gaya kepenulisan. Layaknya mie, ia begitu menggairahkan dengan hadirnya berbagai varian, ada rasa soto, kari ayam, rendang dan lainnya, tapi bukan ke sana, varian yang kami beri ialah dari ke...