=
Bel masuk berbunyi dua menit yang lalu, dan Mareta dengan santainya berjalan di lorong menuju kelas. Dari balik jendela, Bu Lisa berdiri geram menatapnya, diikuti para murid yang mengikuti arah pandang guru di depan kelas. Guru matematika itu hendak membuka mulut dan Mareta langsung mendahului ucapannya sambil berjalan santai ke bangkunya di pojok belakang.
"Santai bu. Kertas soal belum dibagiin, kan? Sini, biar saya aja deh yang bantuin." Katanya sembari kemudian beralih menghampiri bu Lisa untuk mengambil kertas-kertas soal dalam genggamnya. Sebagian anak laki-laki di kelas itu cekikikan senang dengan Mareta yang selalu bisa membungkam mulut para guru terutama guru matematika yang menyebalkan, sementara rata-rata anak perempuan di sana bisik-bisik sambil menatap Mareta sinis.
Songong sekali jadi murid. Dia pikir dia siapa? Cih.
Rambut biru gitu nggak bikin lo keliatan keren, bego!
Pasti ulangan ini dia bakal nyontek lagi.
Mareta tersenyum kecut. Tanpa perlu bicara gamblang di depannya pun Mareta bisa tau.
"Sori ya, gue udah belajar." Kemudian ia menimpali sambil meletakkan kertas soal di atas meja perempuan yang menuduhnya akan menyontek lagi. "Gue nggak kayak lo yang repot-repot nulis contekan dulu di meja."
Ucapan Mareta membuat perempuan itu bergidik kikuk dan buru-buru membenarkan posisi kertas soalnya di atas meja. Tanpa perlu bicara, Mareta tau berbagai macam pikiran dalam kelasnya. Ada yang sibuk menghafal rumus-rumus, ada yang acuh dan bersenandung, ada yang memikirkan enaknya masakan nenek di kampung, ada yang khawatir dengan kondisi pacarnya, bahkan guru matematika di depan kelas itu sedang memikirkan bagaimana cara supaya Mareta tak dapat membaca apa yang ia pikirkan. Mareta hanya tersenyum kecut dengan semua itu.
Semuanya palsu. Wajah-wajah ramah itu hanyalah topeng dari segala macam pikiran buruk yang berusaha disembunyikan di depan sorot mata si gadis berambut biru.
Memang selalu begitu.
* * *
"YEAAYY! Menang lagi! Mampus deh lo, yuhuu!" sorakan Mareta heboh ketika ia berhasil mengalahkan Januari dan teman-teman lainnya pada tiga pertarungan game online. Ia bersorak riuh, sementara Januari mengerut kesal wajahnya, dan teman-teman lainnya mendecak tak percaya dengan permainan Mareta barusan. Gadis itu memang ajaib, seolah bisa apa saja.
"Parah lo, Mar." Kata Jaka, tak henti menggelengkan kepala kagum.
Mareta senyum pamer kepuasan. "Ah udah deh, gue capek. Menang mulu dari tadi." Ia menguap, lalu menyerahkan ponsel yang ia gunakan bermain tadi pada Jaka. Itu bukan ponsel Mareta. Miliknya terlalu jadul untuk dipasang game online dengan ukuran besar seperti yang biasa mereka mainkan.
"Jan, ayo, friend me home!" rengek Mareta sambil menarik telinga Januari.
Mendengar ajakan Mareta dengan bahasa inggris, Januari yang tadinya berusaha fokus dengan gamenya malah dibuat buyar dan terbahak-bahak. Ia tau maksud Mareta supaya menemani gadis itu pulang.
"Bahasa inggris lo memang yang paling indah." Kalian pasti tau kalimat itu bukanlah suatu pujian.
Melihat keduanya, Bobi menjentikkan jari. "Heh sirup marjan, lo berdua malmingan ke palem aja sono, seru dah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Wallflower
Teen FictionWallflower; (noun) You see things. You keep quiet about it. And you understand. - - - Lihatlah dengan jelas! Semua ini hanya tentang Hujan dan Samudra. Selalu, seperti itu. p.s.: seharusnya, tidak dirasakan saja. (( UPDATE TIAP TGL 5, 15 & 23 ))