=
Cakra membuka pintu kamar inap dengan perlahan. Tampak seorang nenek berbaring di atas ranjang dengan selang infus yang menempel di punggung tangan kanannya. Cakra tersenyum menghampiri.
"Halo, nek." Sapanya ramah. Paper bag yang dibawanya tadi diletakkan di atas meja di samping ranjang. "Mama nggak bisa datang, jadi saya bawa titipannya saja."
Si nenek tersenyum berterimakasih. "Andai saja kamu yang jadi cucu nenek, Wala."
Senyum di wajah Cakra langsung lenyap. "Mareta belum pulang juga sejak semalam?"
"Dia selalu malas pulang jika sudah bersama bocah itu."
Januari. Yang nenek maksud adalah Januari. Mareta pasti kesana-kemari bersama Januari.
"Dari pada menjaga nenek di sini, lebih baik kamu cari Mareta saja, ya? Suruh dia pulang, istirahat di rumah, jangan kemana-mana." Ucap nenek begitu lirih.
"Lalu nenek dengan siapa?" tanya Cakra.
"Jangan khawatir. Rian sedang ke toilet sebentar."
Cakra tersenyum pada nenek. Mengelus pelan punggung tangannya. "Nanti jangan lupa di makan ya, nek. Semua masakan Mama enak, nenek pasti ketagihan." Setelah itu, ia pergi meninggalkan kamar inap nenek untuk mencari Mareta.
Di mana ia akan mencari gadis itu jika sedang bersama Januari?
* * *
Cakra pun memutuskan untuk mampir sebentar ke rumah nenek, mungkin Mareta sudah pulang ke rumah. Dan dugaan Cakra benar ternyata. Di pintu gerbang bagian samping yang langsung menghubungkan dengan kamar Mareta, Cakra mendapatinya sedang melepas converse toska di lantai depan pintu.
"Kemana saja?" tanyanya, membuat tubuh Mareta sontak berbalik.
"Ngapain ke sini?" Mareta balik bertanya. "Bawain salad lagi, ya? Sini, sini, masuk!"
Cakra melangkah memasuki halaman kecil di depan kamar Mareta. Ia berdiri di depan lantai, menatap Mareta lekat-lekat. Kali ini kunjungannya bukan karena salad buatan Mama yang menjadi favorit Mareta.
"Kenapa selalu nggak peduli sama nenek sendiri, nona?"
Mendengarnya, langsung merubah raut wajah Mareta. "Cuma mau tanya itu?" desisnya. "Pulang aja sana."
"Saya pastikan kamu nggak tau nenek sedang di rumah sakit sekarang."
Gerakan tangan Mareta untuk menutup pintu terhenti mendengar kalimat yang keluar dari mulut Cakra. "Kamu beruntung masih diberi tempat tinggal, diberi makan. Kamu bahkan nggak tau nenek mengkhawatirkanmu, sampai mendekam di rumah sakit. Nenek bahkan masih sempat memikirkanmu, dan bilang ke saya untuk cari kamu dan suruh kamu istirahat di rumah saja."
"Lo aja sono yang jadi cucunya." Setelah membaca pikiran Cakra, Mareta mengatakannya dengan ketus. "Nenek pasti bahagia banget." Dan pintu dibanting kasar.
Cakra masih berdiri diam di depan lantai. Di atas tanah kering halaman kecil dalam pintu gerbang bagian samping rumah. Mengingat hal ini, Cakra seringnya sebal, karena bentuk rumahnya yang aneh dan menjadi penyebab Mareta sering mengacuhkan nenek dan kakeknya. Kamar Mareta memiliki dua pintu, satu pintu tempat Mareta masuk tadi, dan satunya lagi di dalam, menghubungkan langsung ke ruang tengah rumah. Dan pintunya hanya dapat dikunci dari dalam kamar Mareta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wallflower
Teen FictionWallflower; (noun) You see things. You keep quiet about it. And you understand. - - - Lihatlah dengan jelas! Semua ini hanya tentang Hujan dan Samudra. Selalu, seperti itu. p.s.: seharusnya, tidak dirasakan saja. (( UPDATE TIAP TGL 5, 15 & 23 ))