Kuda berlari kencang menyusuri hutan berkabut dengan penerangan bulan purnama yang ditaburi bintang-bintang. Langit bersinar, tetapi hutan ini lebih gelap daripada hari-hari yang telah bertandang. Meskipun udara beku mencekam, tetapi desiran darah di tubuh Agata tengah membelah angin memburu bau yang tercium di hidungnya. Sebelum Agata ikut menunggang kuda bersama Pangeran Janardara. Ia terlebih dahulu meneteskan ramuan Srigunggu ke hidungnya yang dibuat seminggu sebelum memasuki ujian akhir. Dua tetes untuk masing-masing lubang cukup bagi Agata untuk mendapat kekuatan penciuman yang tak disangka-sangka.
Hutan benar-benar berbau aneh, semuanya tercampur aduk antara air, tanah, udara, kotoran, bahkan bau-bau sisa hewan mati yang terlantar. Awalnya Agata sempoyongan dan ingin muntah ketika obat itu bekerja. Tubuhnya tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri, terlalu banyak penciuman spesifik yang terhidu. Semua bau itu menganggu fungsi otaknya yang baru beradaptasi, sehingga ia merasa pusing bukan main.
"Kita harus menemukan makam itu sebelum Swani!" Ucap Janardara tegas. "Kemana selanjutnya?"
Agata mencium udara bagai anjing yang melacak mangsa.
"Pohon randu." Agata menunjuk ke arah serong kiri, "Belok ke kiri."
Pangeran Janardara mepercepat laju kudanya, ia mengikuti kemanapun Agata menunjuk arah. Seberapa cepat penemuan mereka bergantung ketepatan penciuman Agata. Kuda berlari semkain kencang menerobos tanpa takut apa saja yang ada di depan, ranting jatuh patah, serangga terbang yang menabrak wajah, bahkan rumput tinggi yang menggores kaki di kanan kiri.
Semenit, dua menit, tiga menit berlalu namun Agata baru menyadari sesuatu. Ia mengendus sekali lagi memastikan bahwa penciumannya tidak salah. Namun ternyata adaptasinya yang belum bagus menyadarkan bahwa sebenarnya ia salah mencium aroma. Aroma yang diikutinya terasa lebih bercampur sulfida, klorida, bahkan natrium dan kalium. Agata berpikir bahwa bebauan ini hanya muncul dari tubuh manusia yang mengeluarkan cairan seperti keringat.
"Pelankan laju kudamu!" Ucap Agata tiba-tiba. Spontan Pangeran Janardara menarik tali dan menahan laju kuda.
"Ada yang salah! Kita bukan mengikuti aroma bunga, tetapi aroma Swani."
"Kamu sudah meminum ramuan dan itu tidak mungkin salah."
"Tidak." Agata melihat ke sekeliling. "Hentikan kudamu!"
Pangeran Janardara menghentikan kudanya diantara pepohonan besar dan tumbuhan berbunga serta rumput ilalang yang mulai basah. Agata menatap sekeliling diikuti juga oleh Pangeran Janadara yang mencoba menelisik sesuatu. Dalam diam berpikirnya, Agata menautkan mata pada Pangeran Janardara.
"Bagaimana kalian melihat waktu!?" Tanya Agata tergesa.
"Langit."
Sontak Agata menatap ke atas. Purnama belum menunjukan keberadaannya di tengah angkasa, lantas ia pun menatap bayangan pohon dan kuda yang mereka tumpangi sendiri.
"Aku ingin turun sebentar." Ucapnya tiba-tiba.
Agata melompat dari kuda lalu berjalan ke sembarang arah. Ia memetik beberapa daun dan menghidunya dalam-dalam. Berharap ada sisa jejak Swani tersisa, namun rasanya tetap sulit di terka.
"Menurutmu bagaimana Swani bisa mengetahui keberadaan makam ibunya?" Agata menatap Pangeran Janardara.
"Sungguh. Jika aku tahu pasti akan kuberitahu."
"Sial!" Agata mengumpat. Tubuhnya lemah berlutut di rerumputan hutan.
"Wijaya Kusuma berbunga mekar tepat tengah malam, tetapi seharunya aroma sudah bisa tercium sejak kelopak pertamanya mekar."
![](https://img.wattpad.com/cover/224934384-288-k334691.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Agata Dara dan Skandal Wijaya Kusuma
FantasíaMenjadi teman sekaligus tetangga Swani Danardaru membuat Agata ingin lebih banyak tahu soal perempuan yang gila melukis itu. Setelah memergokinya menemui Wakil Kepala Satu di fakultasnya. Ia menemukan perilaku Swani yang aneh. Agata pun menaruh curi...