[4 : Us, Changed]

598 111 414
                                    

[Jangan lupa bacanya sambil dengerin lagu yang udah aku cantumin di atas, ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[Jangan lupa bacanya sambil dengerin lagu yang udah aku cantumin di atas, ya.
Use an earphone to get a better feeling tho.]

. . .

|| Levanter ||

. . .

|| Chapter 4 : Us, Changed. ||

. . .

ritme jantung seungmin yang semakin berdetak teratur itu terasa sangat jelas menyapa indera pendengaranku. bagai mengolok-olok perbuatan bodoh yang telah aku lakukan, bibit bunga itu kemudian mengeluarkan seberkas sinar putih berkilau dari balik dada seungmin.

aku menghela napas kasar, lagi. menyadari bahwa lagi-lagi aku mengulang sebuah kesalahan yang sangat fatal. benar kata jisoo, kami juga tidak mampu mencegah bunga itu untuk tidak menyukai aura baik yang dipancarkan oleh seungmin.

lantas bagaimana jika kemudian ia juga terjebak di tempat ini?

pertanyaan itu kembali menguntitku dan sampai detik ini pun aku masih belum berani menyebutkan kemungkinan-kemungkinan yang sebenarnya telah hadir dalam kepala.

pikiranku lalu melayang ketika aku pertama kali mengenal bunga tersebut. bunga lavender. yang juga menjadi alasan aku terjebak di tempat ini. kendati tempat ini penuh dengan hal-hal ajaib yang kerap membuat rahangmu menganga, namun tetap saja, sejatinya aku sangat ingin kembali. kembali kepada ayah, ibu, serta keluarga besarku yang entah bagaimana kabar mereka sekarang.

"di mana aku sekarang?"

sebuah suara lembut menarikku kembali dari alam lamunan. aku menemukan seungmin yang sudah membuka matanya dan hatiku semakin hancur begitu menyadari bahwa helai rambut madu serta kedua bola matanya telah sepenuhnya berubah warna menjadi ungu sekarang.

"distrik 9, eh ... ya, kau sedang berada di distrik 9."

jauh dari dugaanku, seungmin justru tertawa kecil sebelum kembali mengulum senyum yang begitu manis. jujur saja, anak ini terlihat begitu murni untuk tertarik ke dalam tempat semu seperti ini.

"apakah hanya aku sendiri yang masuk ke dalam sini?" tanyanya lagi.

aku menggeleng sebagai jawaban, "tidak, jumlah kalian semua ada tujuh orang," lantas memberinya sebuah penjelasan singkat, perihal teman-temannya yang juga tengah mendapatkan perawatan.

"syukurlah kalau begitu."

apa? syukur, katanya?

ah, sudah lama sekali aku tidak bersinggungan dengan kata itu.

mengapa anak ini justru terlihat begitu naif? membuat luka dalam hatiku semakin menganga dan terasa berkali-kali lebih menyakitkan sekarang.

"terima kasih karena telah menolongku."

[1] levanter. | hiatus.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang