The Breaking Point

844 109 31
                                    


Putih.

Adalah Impresi pertama begitu Selfi membuka matanya. Dia berada didalam sebuah ruangan, dan sejauh matanya memandang, tak ada warna lain selain putih. Lantai luas tak bertepi tempatnya menginjakkan kaki berwarna putih. Meja dan kursi yang mengelilinginya ditutup oleh tirai berwarna putih. Bahkan gaun yang dipakai Selfi pun berwarna putih.

Dimana dia? Tempat apa ini sebenarnya?

Selfi tak mengerti. Ruangan ini begitu asing baginya. Dia seperti berada didalam rumah yang sangat luas, begitu luas sampai tak terlihat tepian.

Tapi tunggu. Selfi seperti melihat sesuatu. Dia menangkap satu titik hitam jauh diujung sana. Titik itu kecil, namun terlihat jelas ditengah lautan warna putih.

Maka Selfi pun berjalan mendekati. Ia berjalan, berjalan dan terus berjalan. Dan titik kecil itu terlihat makin besar, besar dan membesar. Sampai akhirnya, Selfi menyadari bahwa titik itu ternyata adalah sesosok manusia. Seorang anak laki-laki, berumur 7 tahun dengan rambut hitam yang tipis. Anak itu membelakangi Selfi. Memakai celana pendek dan kaos putih kebesaran dengan coretan pensil warna dimana-mana. Ada gambar bintang berwarna merah dipunggung tangannya.

Selfi berhenti melangkah. Wajahnya pucat dan tubuhnya kaku seketika. Jantungnya berdebar diatas batas normal. Dia memandang anak itu dengan tatapan tidak percaya.

Dia kenal betul Anak itu siapa...

Selfi mengambil satu langkah ragu. Dia tahu dia sedang bermimpi. Dia tahu ini pasti hanya sekedar imajinasi. Tapi, tapi anak itu terlihat begitu nyata. Begitu jelas. Dan Selfi sangat sangat merindukannya...

Maka dia melangkah lagi... lagi... dan lagi.... Dia terus mendekat, sampai sang Anak merasakan kehadirannya dan membalikkan badannya. Anak itu mendongak, menatap sosok yang mendekatinya dengan tatapan bertanya.

Sampai Selfi berhenti tepat satu langkah didepan sang Anak. Dia merasakan anak laki-laki itu menatapnya dalam-dalam, melihatnya melalui dua bola matanya, menembus ke dalam jiwanya.

Anak itu lalu berkata dengan suara yang tak pernah lagi Selfi dengar selama lima tahun kebelakang.

"Ka.. Kak Selfi?" Dia terdengar ragu, tak yakin dengan kata-katanya sendiri.

Selfi tertegun. Ia terpaku, tak tahu mesti bicara apa. Meski bibirnya tergerak untuk mengucapkan satu-satunya kata yang dapat terpikiran oleh otaknya.

"Ipul..."

Anak itu tersenyum lebar, lalu melangkah mendekati Selfi dengan tangan terbuka lebar. Maka Selfi pun segera berjongkok dan bersiap menyambut adik kecilnya. Bersiap memeluk adik kesayangannya.

Namun yang ia bisa rasakan hanyalah lengannya yang merinding ketika tubuh kecil Ipul menembus tubuhnya.

Selfi segera membalikkan badan, dan raut kekecewaan Ipul menyambutnya. Mereka tak dapat bersentuhan.

"Ipul kangen sama Kakak..." Ipul terdengar begitu sedih. Dia menangis.

Sungguh. Selfi akan melakukan apapun, apapun agar dapat memeluk tubuh gemetar Adiknya. Agar dapat menghapus air matanya. Hatinya sakit, tak mampu melakukan apapun untuk membantu sang Adik.

Yang dapat Selfi lakukan saat ini hanyalah menghapus air matanya sendiri. "Kakak juga kangen banget sama Ipul..."

Ipul malah menundukkan wajahnya dengan sedih. "Nggak, Kakak pasti bohong."

Selfi menjulurkan tangannya untuk mengusap kepala kecil Ipul, tapi berhenti ditengah-tengah. Ia tahu akan sia-sia.

"Kakak beneran kangen... kangen sekali..." Selfi berkata dengan suara tercekat.

A World ApartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang