PART 12

3 0 0
                                    

"Briana? Hei ...!"

"Ha? Ada apa?" Aku terperanjat. Buyar lamunan. Kulihat Theo duduk di bibir ranjang, tepat di hadapan.

Dia tergelak. "Serius amat ngliatin foto. Sampe ngetuk pintu lima kali aja gak didenger."

"Sorry." Buru-buru kupencet tombol off.

"Kangen papamu, ya?" Aku menatapnya tak suka. "Ah, ini ada buah dan multivitamin. Kau harus cepat pulih." Cepat,  Theo mengalihkan pembicaraan.  Sepertinya, dia lekas paham kalau aku tak berkenan dengan pertanyaannya.

Kuterima sebutir apel dan sebotol multivitamin isi lima puluh kapsul. Ini cowok lebay banget, deh. Sekalinya ngajak damai sampai gini amat.

"Makan apelnya." Suruh Theo mendorong tanganku.

Kugigit buahnya dan mengunyah dengan santai. Theo mengalihkan pandangan setelah sempat kupergoki matanya sedang terarah padaku. Senyumannya tampak jengah.

"Apa tak lebih baik minta tambah cuti dua hari lagi sampe kondisimu benar-benar pulih?"

"Besok masih Minggu. Bisa bedrest seharian. Senin pagi berangkat pasti sudah fresh lagi."

"Jangan kerja sekeras itu. Kamu, kan, cewek."

"Dih, apa hubungannya?"

"Ya, ada. Ntar, kan, jadi ibu rumah tangga. Tak perlu kerja keras. Biar aku ... eh,  suamimu yang kerja keras."

Aku terbahak. Theo tampak kagok becanda, tapi memaksakan diri.  Jatuhnya malah lucu,  bagiku. "Garing amat."

"Apanya?" tanyanya sembari membetulkan letak kacamata.

"Banyolanmu ... garing. Sudahlah! Ngejoke bukan keahlianmu. Kau tak punya kemampuan itu. Biar saja ngejoke jadi bagianku. Kalo jutek, mah, jutek aja," sahutku tanpa basa-basi. Kuhabiskan apel yang tinggal satu gigitan.

"Emang ... aku terlihat jutek banget,  ya?"

Pertanyaan polos dengan ekspresi tanpa dosa itu malah makin membuatku terpingkal. Dia ini naif, kudet atau pura-pura polos, sih? Hadeh!

"Teman-temanmu emang tak ada yang bilang kalo kau itu nyebelin, cuek,  jutek,  dingin? Gak enak banget diliat." Tanpa ragu lagi kutumpahkan semua uneg-uneg selama ini. Puas rasanya. "Kalo mau marah, ya, marah aja. Sok atuh,  Kang. Buruan!"

Sesaat dia cuma terbengong. Aku menunggu si songong ini meledak. Sudah menyiapkan mental jika tiba-tiba Theo marah atas kejujuranku. Detik berikutnya,  justru aku yang melongo.

Theo tertawa? Hei, nggak salah?

"Sumpah!  Kau jujur banget. Ceplas-ceplosmu itu bikin aku nyadar. Nyelekit,  sih,  tapi ada benernya." Tawanya terpingkal-pingkal mencopot kacamata dan menyeka matanya dengan lengan kaus.

"Marah aja. Marah,  dong!  Kok ... malah ngakak,  sih?" gerutuku kecewa.

"Kalo kau mengatakan itu di awal masuk rumah ini dulu,  aku pasti marah. Tapi, sekarang beda," selorohnya menghabiskan tawa. 

Hei,  ajaib! Tertawa sampai mengeluarkan air mata begitu? Sepertinya,  dia sudah salah makan. Tumben si jutek ini sebegitunya.

"Bedanya di mana?" tanyaku penasaran.

"Dulu ... aku menganggapmu duri dan benalu. Sekarang ...."

"Apa?" desakku.

"Kau sudah kuanggap sebagai ... keluarga." Dikenakan kembali kacamata berbingkai hitam itu.

"Kata terakhir ... kenapa pelan? Kayak gak ikhlas, gitu?" cecarku mendelik.

"Tidurlah! Banyak istirahat biar lekas sehat." Theo menyentuh pipiku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BRIANA'S MEN (open PO 28 Mei - 16 Juni 2020)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang