PART 6

1 0 0
                                    

Kampanye terbuka paslon ketiga. Ini yang terakhir. Setelahnya, bisa bernapas lega. Oke. Semangat!

Usai zuhur, kampanye digelar di lapangan kecamatan kota. Kru SAM FM, RAZA FM, QALBU FM yang terlibat untuk branding radio, sudah stand by sejak jam sebelas siang. Kami dibantu EO saling koordinasi di detik-detik terakhir. Makan siang, briefing dan doa bersama kami lakukan di kantor kecamatan. Semoga event terakhir ini juga selancar event-event sebelumnya.

"Bri ... ingat! Waspada!" Willy menepuk pundakku.

"Siap! Aku sudah terbiasa, tenang saja," sahutku terkekeh.

"Jangan takabur, ah. Ingat! Jangan ambil reaksi di luar rundown kita," cetus Soni.

"Iya, Bos!" Menekuk wajah kesal malah ditertawakan dua rekanku itu.

Aku didaulat jadi MC perwakilan dari SAM FM. Dari RAZA FM, Ricky yang diajukan. QALBU menyodorkan Indra. Kami bertiga menjadi pemandu acara untuk paslon terakhir.

Meski sudah terbiasa, tetap saja deg-degan. Massa yang luar biasa jumlahnya melebihi kapasitas lapangan, tentu harus dihadapi dengan trik berbeda. Ini tak mudah.

Mau tak mau, aku harus kenakan ankle boots dengan heels tujuh centimeter. Sporty, trendi, tapi tetap harus terlihat seksi dan elegan.

Kami bertiga mengeksekusi acara sesuai rundown yang telah disusun. Semua berjalan lancar hingga sampai usai sambutan ketua KPU kabupaten.

"Bri!" panggil Ricky memberi kode dari kursi paling ujung kiri stage. Aku mengacungkan jempol tinggi di atas kepala.

Akh!

Baru dua langkah, terasa ada yang aneh. Menengok ke kaki kiri. Alamak! Papan stage-nya patah membentuk rengkahan panjang tak beraturan, persis di heels. Automatis, heels boots-ku terperosok.

Mencoba tetap bersikap tenang dan berkelas sembari berjuang menarik kaki kiriku dari lubang. Indra dan Ricky sudah maju ke sisi stage paling depan. Mereka malah sudah berinteraksi dengan para pendukung paslon.

"Ada apa, Bri?" Soni sudah ada di sebelahku.

"Heels-ku kejepit. Susah banget ditarik."

"Aku bantu, ya. Willy! Bilang ke Indra dan Ricky, Briana break dulu!" teriak Soni si gempal berkacamata pada Willy. Willy mengacungkan jempol.

"Oke! Aku tekan papannya, kau tarik kakimu. Satu dua tiga ... tarik! Ughhh!"

Berhasil!

"Yah ... patah," keluhku mendapati heels kiri sudah siap terlepas dari sole luar.

"Mana sepatu ketsmu?" Soni terengah-engah.

"Di kantor Pak Camat."

"Ada apa?" Tetiba si tengil itu datang. Menatapku dengan penuh tanya.

"Heels-ku patah."

"Aku ambil sepatumu dulu di kecamatan," sahut Soni menyela.

"Eits! Biar aku aja yang ambil. Kau ... tolong koordinir bagian sound dan musik. Tiga puluh menit lagi hiburan on."

Tanpa menunggu jawabanku, Daniel bergegas turun stage setinggi dua meter lewat tangga kayu di bagian samping. Sesaat, aku terbengong. Jarak kantor kecamatan dari stage sekitar lima ratus meter. Paling tidak, dua ratus meter--bahkan bisa saja tiga ratus meter--harus berjalan kaki menerobos kerumunan massa begitu padat. Itu ... bahaya dan melelahkan.

Tetiba, ada rasa bersalah menyusup. Menyadarkanku dari ketertegunan. Mengapa tadi niatnya tak kucegah saja, sih? Bego banget aku. Dia bisa celaka di tengah himpitan lautan manusia.

BRIANA'S MEN (open PO 28 Mei - 16 Juni 2020)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang