Tiga

2 0 0
                                    

    "dan langit tidak pernah membenci awan sekalipun ia membuatnya kelabu."


  "H.. Hai." sapa Senja spontan kepada Jingga yang tersenyum menatapnya. Ibu penjual nasi goreng yang ternyata ibu Jingga tersenyum geli melihat kecanggungan kedua remaja itu
"Mama beresin dulu ya, kalian ngobrol didalam juga nggak apa-apa kok." ucap ibu Jingga kepada mereka. "Iya tante, hehehe." ucap Senja malu-malu

     Setelah membantu mendorong gerobak memasuki halaman rumah, Senja kembali menatap Jingga dengan perasaan canggung. "Makasih ya, udah bantuin mama aku." ucap Jingga dengan manis.

"I.. Iya, nggak masalah kok, lagian kan juga deket, btw kamu nggak tidur? udah malem lo."

"Ah enggak, aku udah biasa nungguin mamaku balik, biar bisa bantuin beres-beres."

     Percakapan terhenti seketika saat muncul sesosok lelaki berbadan kekar dan bertampang menyeramkan muncul di muka rumah. "Jingga, ayo masuk bantuin mama." ucap lelaki tersebut yang tak lain adalah papa Jingga. Jingga lalu tersenyum kaku kepada Senja lalu masuk kedalam rumah.  Papa Jingga berjalan perlahan menghampiri Senja,
"Kamu siapa?" ucap papa Jingga ketus.

"Saya temannya Jingga om, kebetulan say..."
belum selesai Senja berbicara, papa Jingga memotong kalimatnya

"Nggak perlu bertele-tele, saya cuma tanya hubunganmu, dengar ya, Jingga anak saya satu-satunya, lebih baik kamu jangan macam-macam dengan anak saya, dia masih kecil, jangan sampai dia menjadi nakal karena kamu."

     Bak mendapat tamparan keras, Senja langsung terpukul lalu pamit pergi kepada papa Jingga. Jingga menguping pembicaraan mereka, diam-diam ia bersembunyi dibalik jendela rumahnya, ia merasa kasihan kepada Senja.

     Perasaan Senja bercampur aduk, ia senang sekaligus sedih, ia juga gembira sekaligus merana, barusaja ia mendapat secercah harapan untuk lebih dekat dengan Jingga, namun apa makna suatu hubungan jika tanpa restu orang tua.

     Ia berjalan gontai menuju motornya, dengan perasaan hampa ia mengendarai motornya menuju rumahnya. Sesampainya dirumah, ia juga menemukan kehampaan, kedua orang tuanya masih sibuk bekerja, entah apakah mereka sudah makan atau belum, Senja tidak pernah memikirkan hal tersebut.

     Senja merebahkan tubuhnya diatas kasur, ia masih saja terpikirkan tentang hal yang baru saja terjadi, ia pertama kalinya merasakan jatuh cinta, juga pertama kalinya merasakan sedih akibat asmara. Senja putus asa, ia tak punya siapa-siapa untuk bercerita, bahkan angin malam yang biasanya bertiup seakan bersimpati kepada Senja, malam itu tak bertiup sama sekali.

    Keesokan harinya disekolah.
Jingga berjalan menuju kelasnya, saat menyusuri koridor, ia berpapasan dengan Senja, sangat canggung suasana pagi itu, mereka sempat terdiam beberapa saat dengan saling bertatap muka, Senja hendak melangkah, namun langkahnya terhenti ketika Jingga memanggilnya.

     "Senja ya?" ucap jingga
"Hm? iya." ucap Senja cuek.

"Maafin yang kemarin ya, Papaku emang suka gitu, tapi papaku nggak ada maksud ngusir kamu kok, dari dulu memang papaku suka protektif banget ke aku. Maafin ya, aku jadi gaenak sama kamu."

"Iya gpp, aku juga ngerti maksud papa kamu kok, udah ya, aku pergi dulu."

Jingga terdiam mendapati Senja yang tidak sehangat kemarin.

Senja P.O.V

     Pagi itu Senja terlihat sangat murung, ia bangun pagi tanpa bersemangat, bahkan suasana sejuk pagi hari tidak bisa menghangatkan hatinya. Senja merasa putus asa teringat kejadian malam itu. Dirinya seakan hampa dan tanpa makna.

     Usai mandi dan sarapan, Senja berangkat menuju sekolah. Ia melewati koridor sekolahnya dengan lesu. Namun suasanya hati senja mendadak berubah menjadi hangat saat ia menatap wajah sesosok perempuan, ya, Senja menatap Jingga.

     Senja sangat senang pagi itu, bahkan rasa senang itu tak bisa digambarkan oleh kata. Namun Senja teringat akan himbauan papa Jingga, Senja pun bersikap acuh kepada Jingga meskipun didalam hatinya sedang berpesta.

     Baru saja Senja hendak melangkah namun ia terhenti oleh sapaan lembut Jingga. " Ah, harus cool, gaboleh salting, gaboleh salting..." ucap Senja didalam hatinya.

     Senja bersikap dingin kepada Jingga meskipun sebenarnya ia sangat gembira. Dirinya tak kuasa menatap mata Jingga, ia pun segera mencari alasan untuk pergi meninggalkan Jingga. Sesaat setelah ia beralasan kepada Jingga, Senja pergi menuju kelasnya. Baru beberapa langkah meninggalkan Jingga, Senja bergumam.

     "Ah sialan, ngapain tadi sok cool ya, padahal kan seru banget tadi bisa ngobrol sama dia." ucap Senja merutuki kebodohannya. "Bener juga sih, kemarin kan di ultimatum papanya, aku gak boleh deketin dia." ucap Senja sedih kepada dirinya sendiri.

     "Hei, ngapain ngomong sendiri? Udah gila ya?" gurau sahabat Senja kepadanya

"ih apaan sih, yauda ayo ke kelas."

"Markicabs bro."

     Senja dan sahabatnya pergi menuju kelasnya. Tanpa sadar ada seseorang yang mengawasi mereka, sesorang tersebut adalah Ajeng, sang pengagum rahasia Senja.

Thanks for reading :*

Senja dan DirinyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang