02 | Lumière d'Antan ✧˚ ༘ ⋆。˚

2.9K 404 145
                                        

Cinta tidak dilihat dengan mata, namun dengan pikiran, itu sebabnya cupid bersayap digambarkan buta.❞

—𝑾𝒊𝒍𝒍𝒊𝒂𝒎 𝑺𝒉𝒂𝒌𝒆𝒔𝒑𝒆𝒂𝒓𝒆—

-ˋˏ ༻✧༺ ˎˊ-

; disarankan membaca dengan latar belakang hitam



Malam itu, Jakarta, yang biasanya begitu hiruk pikuk, tampak lebih sunyi dari biasanya. Hujan yang turun dengan lembut beberapa jam sebelumnya telah meninggalkan jejaknya di atas trotoar, membuat kota ini seolah terlena dalam sebuah keheningan yang hampir magis. Lampu-lampu jalanan, yang biasanya terlihat cerah dan berisik, kini berpendar redup, menciptakan bayang-bayang yang menari-nari di sepanjang jalan. Seolah-olah malam ini tidak ingin terburu-buru, membiarkan waktu melambat, dan setiap detik yang lewat terasa penuh makna.

Di tengah kota yang terlelap dalam ketenangan itu, Alma dan Reksa berjalan perlahan, langkah kaki mereka berdua nyaris tidak terdengar. Suara percakapan mereka seperti bisikan angin yang terperangkap di antara deretan pohon yang berteduh di pinggir jalan. Alma, yang biasanya ceria, kini tampak begitu sunyi, seolah ada dunia lain yang menyelimuti pikirannya. Reksa, yang tidak bisa melihat sahabatnya terpuruk, berusaha keras mencari cara untuk membuat Alma merasa sedikit lebih baik.

Namun, perasaan Alma tetap terjebak dalam bayang-bayang kesedihan yang mendalam. Hari itu, ia telah menerima kenyataan pahit—ia gagal dalam audisi ballet yang telah ia persiapkan dengan sepenuh hati. "Mungkin aku tidak cukup baik," pikirnya, melangkah dengan kepala tertunduk, seolah dunia ini terlalu berat untuk dipikul sendirian.

Di antara kebingungannya, sesuatu yang kecil, sesuatu yang tak terduga, menarik perhatian Alma. Di sudut jalan yang tidak terlalu ramai, sebuah toko kecil dengan papan kayu yang sudah lapuk menanti untuk ditemukan. Di atas pintunya tertulis sebuah nama yang terasa begitu asing, sekaligus menyenangkan di telinga—Lumière d'Antan. Nama itu, begitu puitis, seolah berbisik tentang cahaya yang hilang di masa lalu, tentang kenangan yang sudah lama terlupakan. Di bagian jendela toko, terdapat tulisan sedang "Roti & Es Krim, Teman Manis Setiap Saat!".

"Alma, lihat! Toko itu," suara Reksa memecah keheningan, seraya menarik tangan Alma menuju pintu toko kecil yang hampir tersembunyi itu.

"Aku sedang tidak ingin makan es krim, Sa," lirih Alma.

"Aku traktir, deh," bujuk Reksa. "Kalau ada rasa mint choco, kau pasti tambah senang. Ayo Alma, malam-malam dingin enaknya makan es krim."

"Malam dingin itu enaknya makan atau minum yang hangat, bukan es krim. Sudahlah, kita pulang saja. Aku benar-benar kacau dan lelah hari ini," tolak Alma dengan nada datar.

"Ayolah, sebentar saja," ucap Reksa yang terus membujuk. Tanpa menunggu jawaba Alma, laki-laki itu langsung menarik tangan Alma, membawanya ke dalam toko es krim tersebut.

Ketika Alma dan Reksa memasuki toko itu, suara pintu kayu yang berderit seakan menjadi musik penyambut, membawa mereka ke dalam sebuah dunia yang berbeda—dunia yang terjaga dari keriuhan luar, tempat di mana waktu terasa lambat berjalan. Suasana di dalam toko ini begitu akrab, seperti sebuah ruang tamu di rumah nenek yang penuh dengan kenangan dan cerita masa lalu. Udara di dalamnya dipenuhi dengan aroma manis yang hangat—seperti gula karamel yang sedang dipanaskan, berpadu dengan aroma roti panggang yang baru saja keluar dari oven tua. Lampu-lampu meja yang tergantung rendah, berpendar lembut seperti api lilin, memberi sentuhan kehangatan pada tiap sudut ruangan.

Indurasmi Batavia✧ [𝒂 𝒉𝒊𝒔𝒕𝒐𝒓𝒊𝒄𝒂𝒍 𝒇𝒊𝒄𝒕𝒊𝒐𝒏]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang