chapter 1

179 13 1
                                    

Mencintai kedamaian dan memaafkan lebih baik dari pada balas dendam.

Suasana sepi sangat terasa, damai menyenangkan ditepi pantai desa Teluk Ine yang merupakan wilayah kekerajaan Iwagakure. Matahari sore perlahan-lahan bergulir turun keperaduannya meninggalkan warnanya yang kemerahan diufuk barat sana. Dua orang pemuda sedang duduk ditepi pantai itu diatas sebatang kayu yang tumbang diatas pasir. Mata keduanya memandang jauh kelaut lepas. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka masing-masing.

"Emu..apa kau yakin tidak akan berubah pikiran lagi? Sudah cukup kita dijajah oleh Kaisar yang lalim itu. Kau pun tau bagaimana keadaan rakyat Teluk Ine ini. Sudah saatnya kita harus melawan. Apalagi yang kita tunggu!"

Emu hanya diam saja tampa kata-kata. Ia hanya menggelengkan kepala seakan tak menyetujui pendapat yang dikatakan oleh Sento sahabat karibnya sejak kecil itu.

"Emu...jawab aku. Jangan diam saja!" Sento yang kesal kediaman Emu mengguncang tubuh sahabatnya itu.

"Aku ini sahabatmu, Em! Apa kau tidak percaya padaku..."

Emu menarik nafas, menatap kearah sahabatnya sejenak kemudian kembali memandang kedepan kembali.

"Gomenne, Sento nii....aku tidak bisa! Aku tidak mau berurusan dengan mereka. Aku hanya mau hidup selayaknya rakyat biasa yang tak ada masalah. Tampa ada perperangan, tampa ada pertaruhan nyawa..."

"Apa yang kau bicarakan ini, Emu? Apa kau tak punya perasaan hingga tega melihat rakyat desa kita begitu menderita karna terus menerus dikuras harta dan tenaganya oleh kaisar Iwagakure itu?" kata Sento yang sudah marah mendengar penolakan Emu untuk ikut berpartisipasi melawan kezaliman kaisar Iwagakure itu.

Emu memandang Sento dengan tatapan datarnya sementara hatinya serasa menangis mendengar tuduhan Sento. Namun demi prinsip dikuatkannya hatinya.

"Aku juga sakit melihat rakyat kita diperlakukan demikian, Niisan! Tapi aku sadat, kita bisa berbuat apa? Mereka itu terlalu kuat untuk kita lawan. Kita pasti akan kalah dan itu sudah jelas bukan? Jadi, lebih baik kita diam. Karna dengan diamnya kita, Kaisar tidak mungkin mengusik kita atau lebih tepatnya lagi mungkin beliau akan sudo mengampuni kita. Aku masih punya cita-cita, Niisan. Bulan depan aku akan melamar Amuchi untuk menjadi istriku. Aku hendak punya keluarga. Jadi, onegai... Gomenne, niisan !"

Sento menunduk lesu. Hatinya sakit sekaligus marah mendengar perkataan dan prinsip teguh sahabat sekaligus telah dianggapnya adik sejak kecil ini. Kemarahan itu tampa sadar membuat tangannya mengepal erat dan akhirnya tinjunya pun melayang kewajah Emu yang tampan itu.

"BAKKAYAROO....!!!"

DUAKKK!!!

Tinjuan kuat itu membuat Emu jatuh terduduk dengan wajah memar dan sudut bibirnya jadi pecah dan berdarah.

"Cihh...dasar penjilat! Tega kau melihat penderitaan saudara-saudaramu sendiri. Aku memang tak akan memaksamu bila kau memang tidak mau, Emu! Kau boleh bilang kalau saat ini kau bahagia. Kau berhasil mempersunting gadis pujaan hatimu. Tapi ingat, kalau kebahagiaanmu itu hanyalah sementara. Kau tidak tau betapa kejamnya Kaisar Kuroto itu. Aku... Akan tetap berjuang dengan atau tampa dirimu bersama kami, camkan itu!" Sento segera berlalu membawa marahnya meninggalkan Emu yang masih terduduk dipasir putih itu.

Emu termenung menatap kepergian Sento dengan pandangan nanar tampa berniat mencegahnya. Karna apa yang dikatakan Sento memang benar adanya. Dia memang seorang pengecut. Emu menarik nafas panjang

Fukushu no kiseki (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang