TIGA

1.3K 67 1
                                    

Pak Imron dan bu Ida menatapnya, menangis melihat Dela yang meraung-raung. Dela tidak tau apa yang terjadi, karena ia tidak sadarkan diri dalam tidurnya.

"Kamu ngga papa nak" peluk bu Ida, tangisnya pecah.

"Saya kecolongan, sudah ku duga jin ini gak main-main kalau mencelakai orang"

Pak Sugeng menatap Dela.
"Kamu mimpi apa dek?"

"Wanita cantik ngajak saya ketemu si mbah" kata Dela tergagap, wajahnya masih tegang.

"Kamu terima tawaranya?" tanya pak Sugeng.

"Mboten pak (Tidak pak), tadi saya langsung lari. Dia sempet ngejar saya, tapi si Mbah nolong saya. Beliau bilang, jangan ganggu keluarga saya" Dela menangis sejadi-jadinya.

"Sudah ku duga" kata pak Sugeng.

"Mbah Wira menyembunyikan sesuatu. Kamu tidur lagi saja dek. Kali ini, jangan lupa doa nggih, minta pertolongan sama Allah"

Pak Sugeng pun pergi meninggalkan kamar itu. Besoknya, datang seseorang yang masih muda, beliau menyapa dengan ramah. Rupanya, beliau adalah kenalan dari pak Sugeng yang di ceritakan semalam.

"Namanya mas Iwan, dia dulu mondok di pondok pesantren Al-****** , beliau datang jauh-jauh kesini ingin membantu"

Pak Imron menyambut salam hangat itu. Di jalan, pak Sugeng menceritakan semuanya, pak Iwan hanya manggut-manggut saja. Sesampai di rumahnya pak Imron, mas Iwan langsung merasakan sentakan tidak enak.

"Banyak sekali penghuninya" kata mas Iwan, siang bolong ia melihat kesana-kemari.

"Sebelumnya tidak begini" kata pak Sugeng.

"Tampaknya Jin Rhib ini berusaha mengumpulkan sebanyak-banyaknya pengikut"

Tanpa basa-basi, mas Iwan langsung menuju kamar mbah Wira, begitu pintu di buka, mas Iwan kaget bukan main melihat kondisi mbah Wira yang tengah duduk menyantap bangkai kucing.

"Astaghfirullah" kata mas Iwan, disaksikan oleh pak Imron dan pak Sugeng.

Mas Iwan mendekati mbah Wira yang menatapnya tajam dengan gigi kemerahan dari darah daging kucing yang ia santap hidup-hidup.

"Assalamualaikum" sapa mas Iwan.

Namun, mbah Wira tak menjawabnya.

"Assalamualaikum" lagi, namun tetap tidak di jawab.

"Assalamualaikum"

Ketiga kalinya, mbah Wira menjawab : "Waalaikumsallam"

Namun suaranya, bukan suara mbah Wira. Melainkan suara menyerupai suara seorang pria.

"Panjenengan sinten, lan enten nopo panjenengan ten mriki?"
(Anda siapa? dan ada urusan apa anda ada disini?)

"AKU DI UNDANG" jawab mbah Wira.

"Sinten sing ngundang?"
(Siapa yang ngundang?)

"GAK ONOK URUSAN AMBEK AWAKMU" (Ngga ada urusan denganmu)

"Penjenengan saget jawab salam kulo, sak niki kulo nyuwun tolong, panjenengan metu ambek rencang-rencang panjenengan, saget?"
(Anda bisa menjawab salam saya, sekarang saya ingin meminta tolong, bisakah anda pergi bersama teman-teman anda? bisa?)

Mbah Wira tiba-tiba berteriak keras sekali. Lalu, ia menatap mas Iwan dengan sengit. Kali ini, ia mengerang seperti macan.

Pak Sugeng memberitahu pak Imron yang tampak kebingungan.

TIANG KEMBAR (DIA BUKAN NENEKKU) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang