EMPAT

1.2K 70 1
                                    

Saat itu, gemuruh suara terdengar membuat para santri seperti tersentak, di ikuti suara tawa melengking. Mbah Wira menunjuk mas Iwan, kemudian berkata :

"Musibah iki gak bakal mari, sampe aku oleh siji teko kabeh wong seng gok kene" (Musibah ini tidak akan berhenti disini, ia akan mengikuti setiap dari kalian yang ada disini)

"Bissmillah, pak. Ayo coba jalan lagi" kata mas Iwan tenang.

Anehnya, bus kembali berjalan. Namun, sopir bus itu tampak mengerti. Apa yang sebenarnya terjadi disini, bukanlah perjalanan biasa. Karena, ia bercerita pada pak Imron, sepanjang perjalanan di kiri kanan jalan, banyak memedi (bangsa alus) berbaris di sepanjang jalan. Meminta naik.

"Astaghfirullah hal'adzhim" kalimat itu terus terdengar dari mulut si sopir, setiap ia melihat jalan, ia akan berucap itu kembali.

Sebenarnya, tidak hanya itu. Semakin malam, entah kenapa semakin dingin. Dinginya bukan karena suhu turun, namun ada energi negatif yang begitu kuat seolah-olah menahan mereka agar tidak lanjut.

Sampai akhirnya, hal yang paling tidak di inginkan terjadi, ban bus sempat bergesek hebat di jalan yang sudah sepi itu, untung saja, bus mampu berhenti tiba-tiba, rupanya mas Iwan menyadari sesuatu. 

"Alhamdulillah" katanya

Bingung. Pak Imron bertanya :
"Maksudnya bagaimana pak?"

"Pak sopir, tolong di cek ban atau mesinya, sekarang nggih, yang lain tetap di dalam bus, monggo pak Sugeng ikut saya" kata mas Iwan. Tanpa menunggu waktu lama, pak Sopir memeriksa ban satu-satu dan benar saja, ada satu Ban yang kondisinya tidak memungkinkan untuk kembali berjalan, pak sopir lantas bertanya :

"Apa maksudnya ini pak?"

"Sudah, sekarang kita ganti banya, untung saja, kejadian ini tidak menimpa kita di depan sana?!" mas Iwan menunjuk jalan di depan.

"Kenapa pak?" tanya si sopir

"Di depan sana, ada jurang yang kalau kondisi ban tidak prima, mungkin akan membahayakan nyawa kita"

Di bantu pak Sugeng, segera mas Iwan dan pak Sopir mengganti Ban yang besar itu, sementara Dela, melihat mbah Wira berbicara denganya.

"Nduk, mbah kangen"

Namun bu Ida dan pak Imron memegang lengan Dela seolah menolak untuk mendekatinya.

"Iki si mbah ndok. Delia, namamu yang ngasih aku ndok" katanya.
(Ini mbah nak. Delia, namamu yang kasih aku nak)

"Iku si mbah pak, buk. Dela mau mendekat!!"
(Itu mbah pak, bu. Dela mau mendekat)

"Jangan!!" kata pak Imron tegas.

"Jahat sekali kalian sama ibumu yang melahirkan kamu!! jahat!" ucap mbah Wira dengan suara bergetar.

Dela mulai menangis, memohon di ijinkan mendekat, sampai ada seorang santri mendekatinya.

"Pendusta !! sampeyan pendusta!!"
(Pembohong!! Kamu pembohong!!)

Saat itulah Dela sadar, sosok di depannya menyeringai. Bus kembali melaju dan benar saja, di kiri jalan hampir sepanjang 12 KM, itu jurang. Pak Sopir tidak berhenti beristighfar, seolah kejadian malam ini merupakan pengalaman yang membuatnya tidak percaya. 

Sementara mbah Wira kembali tertawa-tawa, membuat suasana kian mencekam.
Selepas jalan jurang, rupanya mereka masih harus masuk lagi, ke jalanan samping kiri kanan hutan. Sampai akhirnya mas Iwan menyuruh berhenti di sebuah jalanan yang di babat. Bus pun berhenti, mas Iwan dan pak Sugeng mengangkat mbah Wira, menuntunnya untuk ikut.

TIANG KEMBAR (DIA BUKAN NENEKKU) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang