Malam itu juga, mbah Tonah mengantar pak Imron sekeluarga ke tempat dimana mbah Wira berada. Rupanya, tempatnya sangat jauh, bahkan butuh waktu 20 menit untuk sampai di sebuah gubuk kecil. Di luar gubuk, banyak santri tengah mengaji, cahaya disana hanya bergantung pada obor.
Ketika pintu akan di buka, mbah Tonah mengatakan untuk menyiapkan mental karena apa yang akan mereka lihat, semata-mata bukan untuk menyiksa atau membuat mbah Wira tersiksa, ini hanya cara yang di lakukan untuk membersihkan jin dan bangsa lelembut yang sudah terlanjur masuk karena di undang. Sekarang, tinggal jin Rhib itu sendiri yang ada di dalam tubuh mbah Wira.
Pintu di buka dan mbah Tonah mempersilahkan pak Imron sekeluarga masuk. Ngeri bercampur takut, apa yang di saksikan di luar batas nalar, tangan dan kaki mbah Wira di pasung, wajahnya di temui banyak luka borok.
Tidak hanya itu, bau busuk yang menyengat membuat siapapun yang menciumnya tidak akan bisa tahan. Mual, itu yang di rasakan Dela. Samping kiri kanan banyak darah dimana-mana.
"Enten nopo niki mbah?"
(Ada apa ini mbah?) tanya pak Imron."Sabar mas, ini ulah jin Rhib, dia sudah tersudut" kata mas Iwan menenangkan.
Dela yang pertama mendekati, dirinya tidak tau lagi harus berkomentar apa. Meski semua ini terdengar ngga masuk diakal, namun jauh disana dia masih melihat bayangan si mbah, mungkin beliau sangat tersiksa, sampai Dela melihatnya dengan jelas. Mata mbah Wira sepenuhnya hitam legam, tidak ada putih di matanya. Ia meraung setelah melihat Dela, memohon agar ia di lepaskan dari belenggu ini. Namun Dela tau, itu bukan mbah Wira.
Mbah Tonah duduk di sebuah kursi tua, beliau merangkul tongkatnya, menghadap mbah Wira dengan tenang, sebelum tertidur.
Semua tampak kaget. Kenapa mbah Tonah tiba-tiba tertidur. Mas Iwan dan pak Sugeng, menahan bu Ida dan pak Imron, beliau hanya mengatakan.
"Disini saja pak bu. biar di urus sama mbah Tonah"
Tiba-tiba seperti petir di siang bolong, mbah Tonah terbangun, berbicara dengan bahasa Arab. Suaranya melengking seperti wanita.
Dela yang menyaksikan itu, kaget. Setengah merinding, ucapan mbah Tonah tertuju pada sosok di hadapannya. Rupanya, mbah Wira bisa menjawab ucapan bahasa Arab itu, mereka sama-sama mengobrol, namun dari nada suaranya sangat sengit.
Mas Iwan menjelaskan, mbah Tonah sudah memaksa jin itu memberitahu dimana mbah Wira di sembunyikan. Namun jin ini jauh lebih dari keras kepala, karena memang sejak awal, jin ini sudah cocok dengan mbah Wira. Namanya juga tiang kembarnya.
Rupanya, Jin itu tetap tidak mau memberitahu dan mbah Tonah tertidur kembali. Begitu beliau bangun, mbah Tonah berujar pada pak Imron.
"Saya ingin berbicara dengan anda dan hanya anda saja. Mari ikut saya"
Lama, Dela tidak melihat pak Imron dan mbah Tonah. Sekitar jam 2 dinihari, mereka kembali. Namun, wajah muram terlihat dari ekspresi garis muka pak Imron.
"Del, bapak mau ngomong" kata pak Imron.
"Dela sayang mbah kan?"Dela mengangguk, wajahnya terlihat bingung.
"Begini..." kata pak Imron.
"Hari ini, akan di adakan sholat mayit untuk mbah Wira"
Kaget tentu saja. Dela terdiam.
"Shalat ghaib pak" kata Dela."Jadi, mbah sudah ngga ada"
"Begini..." kata pak Imron mencoba memeluk Dela.
"Ada harapan dengan sholat ghaib, kita sudah mengikhlaskan si mbah dan jika kita sudah ikhlas, jin ini akan ikut lenyap. Tapi rupanya, ini bisa memberi jalan ke si mbah untuk pulang. Masalahnya, Dela harus siap menerima konsekuensi apapun, mungkin si mbah bisa pulang, tapi akal sehatnya ikut lenyap. Namun hanya itu cara satu-satunya, bukankah setiap manusia pasti akan mati"
Malam itu, persiapan sholat ghaib di laksanakan saat itu juga. Bagai di terpa badai angin rupanya, Jin Rhib itu sudah tau. Dia berteriak dan alam menentangnya dengan angin yang berhembus kencang. Para santri begitu terkejut, namun mbah Tonah tetap tenang. Sembari meminta semua santrinya mendekat, termasuk Dela yang baru saja berwudhu.
Sholat dilakukan dengan khidmat, di pimpin mbah Tonah dan Jin itu menjerit sejadi-jadinya. Konon Dela bercerita, ia seperti melihat tubuh mbah Wira tertekuk dengan suara tulang di patahkan, begitu ngeri. Namun Dela harus ikhlas, dengan ini semoga ada jalan bagi mbah Wira.
Setelah sholat ghaib, mbah Wira memuntahkan-muntahan hitam. Hitam sekali, dan sangat menyengat. Dia tidak berhenti memuntahkan itu.
Sembari mencoba lepas dari pasak kayu, tulang lehernya seperti baru saja patah, sehingga kepalanya tidak dapat terangkat. Ini merupakan kengerian yang pertama kali membuat Dela sampai tidak bisa melihatnya.
Setelah subuh datang. Mbah Wira sudah jatuh, entah pingsan atau apa. Beliau mengelepar di atas tanah. Santri perempuan membuka pasak, membawanya kembali ke pondok pesantren, sementara yang lain kembali untuk menunaikan shalat subuh.
Adzan dzuhur berkumandang, pak Imron mengetuk kamar Dela. Selama tinggal di pondok pesantren, beliau memeluk Dela kemudian mengantarkannya ke sebuah kamar.
Bu Ida juga ikut menyambutnya, matanya hitam tampak lelah dan di hantui rasa penyesalan, Dela mencoba menghibur dengan memeluknya, insya allah semua sudah ikhlas.
Mas Iwan dan pak Sugeng sudah menunggu di luar kamar. Di dalam kamar, Dela melihat mbah Tonah. Setelah mencium tangan beliau, Dela tertuju pada seseorang yang tengah duduk memandang jendela.
Mbah Wira duduk. Matanya kosong memandang keluar.
"Mbah..." kata Dela, namun tidak di jawab.
Tidak berhenti, Dela terus memanggil nama si mbah. Namun, sebanyak apapun dia memanggilnya, mbah Wira seperti tidak mendengar siapapun.
Disana, mbah Tonah menjelaskan. "Saat ini, mungkin mbah Wira sudah kosong. Seperti yang saya bilang, kemungkinan dia tidak akan ingat siapapun, tidak ingat apapun, tidak bisa melakukan apapun, makan harus di suapi, mandi harus di mandikan, seperti orang mati, namun raganya tetap hidup. Dan tidak akan ada lelembut yang tertarik sama jiwa yang sudah kosong"
"Pernah melihat kenapa orang gila tidak pernah di rasuki, karena di mata mereka, orang gila tidak punya akal pikiran. Bau mereka teramat sengak, sehingga bangsa alus menjauhinya. Mohon maaf, hanya ini yang bisa saya lakukan untuk membantu, dan pak Imron sudah setuju"
"Insya Allah, tidak akan ada yang menganggu keluarga kalian kembali. Jin itu tidak akan kembali dan tidak akan berani, karena tiang kembarnya, sudah runtuh satu"
Siang itu, keluarga pak Imron dan semua yang ada disana kembali pulang, setelah berpamitan dengan semua orang di pondok pesantren. Mbah Wira di tuntun oleh pak Imron ketika berjalan, dan beliau menurut saja. Tapi tatapannya masih kosong. Sangat kosong. Raga tanpa jiwa. Penggambaran itu lah yang Dela saksikan.
2 bulan setelah peristiwa itu, Dela bermimpi lagi, mbah Wira kembali, menemuinya dan tersenyum.
Begitu ia terbangun dari tidurnya, Dela menemui si mbah yang lebih banyak beraktifitas di dalam kamar, hanya melamun dan melamun. Namun, pagi itu berbeda. Si mbah Wira bisa melihat Dela, membelai wajahnya untuk terakhir kalinya.
Tidak ada yang tau umur manusia, setelah Dela pergi dari kamar itu, siapa sangka mbah Wira menghembuskan nafas terakhirnya.
Dela hanya bisa menatapnya sedih, tentu saja. Namun ia sudah ikhlas dan jawaban akan senyuman itu adalah jawaban si mbah yang mungkin sudah berterima kasih pada Dela.
***
Pesan :
Memang, sebagai seorang manusia mengambil sesuatu yang bukan haknya merupakan hal yang tidak benar dan siapapun yang membaca ini, untuk tidak melakukan hal terpuji semacam itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIANG KEMBAR (DIA BUKAN NENEKKU)
HorrorTIANG KEMBAR. Cerita yang disampaikan tidak ada yang saya ringkas, semua saya jelasin seperti yang beliau tulis. Hanya saja saya merapikan (merevisi) tulisannya agar tiap percakapan mudah untuk di baca, dan memperbaiki tanda bacanya. (BAHASA TELAH...