SATU

1.9K 73 0
                                    

Adelia Safitri Wijaya adalah seorang anak gadis yang lahir dan dibesarkan oleh sebuah keluarga yang menjunjung tinggi nilai jawa atau biasa disebut kejawen

Di dalam rumahnya, kerap di temui barang-barang berupa keris, cincin batu dan beberapa peninggalan kuno. Meski nilai jawa ada di dalam kehidupan mereka, keluarga ini adalah sebuah keluarga muslim yang taat. Semua peninggalan dan barang antik di rumahnya, hanyalah sebuah peninggalan dari kakek-kakek mereka yang konon di jaga untuk menjunjung hormat mereka kepada yang sudah meninggalkan dunia ini.

Bertempat tinggal di salah satu kota besar di Jawa Timur, Dela saat ini menempuh pendidikan sebagai mahasiswi di salah satu kampus swasta di kota ini. Sore itu, Dela menatap langit, mendung. Hujan akan turun sebentar lagi, batinnya. 

Tak beberapa lama, ada suara motor mendekat.

"Ngga di jemput lagi Del" kata seorang wanita yang mengendarai motor matic, menatap Dela dengan senyum ramah. 

Dela teringat ayahnya yang sibuk, ibunya apalagi, sedangkan kekasihnya, tidak dapat datang karena harus bekerja shift.

"Bareng aja, kebetulan gw lewat rumah lu" ajak si gadis.

Mega adalah nama gadis itu, sahabat sekaligus teman Adel yang paling mengerti kondisi satu sama lain. Tanpa menunggu hujan turun, Dela segera menyambar dan duduk di jok motor Mega, mereka pun segera pergi meninggalkan kampus.

Di tengah perjalanan, Dela tampak tidak fokus dengan apa yang sebenarnya sedang ia fikirkan, ia hanya teringat satu orang yang membuatnya akhir-akhir ini merasa tidak nyaman.

"Mbah Wira"

Begitu, Dela memanggilnya. Mbah Wira adalah satu-satunya nenek Dela yang masih hidup. Beliau adalah ibu dari pihak ayah yang saat ini tinggal satu atap bersama Dela. Namun, beberapa bulan ini, Dela menemukan kejanggalan dengan neneknya yang selama ini dekat denganya. Seolah-olah itu bukan neneknya. Namun, ia pun bimbang.

"Lagi mikir apa?" kata Mega menyadarkan Dela dari lamunan.

"Ngga ada" Jawabnya.

Mega tau, Dela berbohong. Namun, dirinya tidak punya hak untuk memaksanya bercerita. Kurang beberapa kilometer, hujan mulai turun di sertai kilatan petir yang menyambar. Namun, Mega tetap melanjutkan perjalanan.

"Terabas saja ya, biar cepat sampai"

"Nggih" kata Dela.

Motor Mega kini berhenti di sebuah rumah dengan kompleks halaman yang luas, itu adalah rumah Dela.

"Ngga mampir?" 

"Ngga Del, lain kali saja. Titip salam buat emak, bapak, sama mbah 
Wira saja"

"Ya sudah, hati-hati"

Begitu motor Mega kembali melaju menembus hujan yang kian lebat, Dela baru sadar, sudah hampir jam 6 sore dan hari sudah petang. Tapi, tidak satu lampu pun di rumahnya tampak menyala. Padahal, kiri kanan tetangganya sudah menyalakan lampu guna mengusir kegelapan di sekitar rumah.

"Apa listriknya mati ya..." batin Dela mendekat.

Namun, perasaan itu kembali lagi. Akhir-akhir ini semua seperti mimpi, seperti ada yang lain di dalam rumahnya yang membuat Dela tidak nyaman dan tidak ingin kembali ke rumah. Namun, masalahnya, Dela tidak tau apa itu. Ia membuka pintu dan mengucapkan salam seperti biasanya.

"Assalamualaikum" katanya.

Namun, kegelapan dan keheninganlah yang justru menyambutnya. Dela mencari saklar lampu, menekannya. Namun, rupanya listrik tidak juga menyala di dalam kegelapan yang menguasai rumah itu. Dela tertuju pada seseorang yang tengah duduk. Begitu gelap, sehingga Dela harus mendekatinya. Rupanya, ada seseorang selain dirinya di rumah ini. Tapi, kenapa ia tidak menjawab salamnya.

Selain keluarganya, di rumah ini tinggal Mbak Ningsih, asisten rumah tangga yang sudah bekerja 3 tahun. Namun, jam 5 sore adalah batasan waktu bagi mbak Ningsih dalam bekerja, karena beliau seharusnya sudah pulang. Jadi, siapa yang sekarang sedang duduk membelakanginya.

"Mbok..." panggil Dela seraya mendekat. Sosok itu hanya diam, namun semakin Dela mendekat terdengar suara menangis sangat lirih. Sehingga, Dela tidak dapat memastikan apakah dia sedang menangis.

Kini, Dela sudah tepat di belakangnya, ketika ia menyentuh bahu sosok itu agar ia dapat melihat siapa yang ada di depannya, sosok itu berbalik menatapnya.

"TOLONG NDOK, TOLONG..."

Kaget, karena apa yang Dela lihat adalah Mbah Wira yang tengah menangis melihatnya. Sebelum akhirnya, Dela terbangun begitu saja dari mimpinya.

Sudah lebih dari 5 kali, Dela di hantui mimpi yang sama berulang-ulang, seolah mimpi itu mengandung pesan.

Kenapa dengan si mbah ?
Kenapa Dela selalu melihat si mbah menangis?

Padahal, mbah Wira saat ini baik-baik saja dan tinggal bersamanya. kecuali, Dela teringat ada yang janggal. Semua di mulai di hari itu.

Hari dimana Mbah Wira mengatakan :
"Mbah ketemu cah ayu Del, cah ayu sing ngancani si mbah nang kene"
(Mbah bertemu perempuan cantik Del, sangat cantik yang menemani mbah disini)

Setelah hari itu, mbah Wira jadi berubah. Suatu Sore, bu Ida yang merupakan ibunya Dela memanggil. 

"Del, kamu ngga lihat ayam di kulkas, kok ngga ada?"

"Dela ngga lihat bu."

"Ya sudah, mungkin ada yang ambil. Ibu belanja dulu" Bu Ida pergi.

Dela kemudian kembali ke kamarnya. Lalu, ketika ia melewati kamar mbah Wira, terdengar suara mengkecap, seperti seseorang tengah mengunyah dan menimbulkan suara yang menganggu. Tidak hanya itu, Dela juga mencium bau amis. Namun bukan amis dari ikan air tawar. Penasaran, Dela mengintip dari celah pintu, kaget dan campur aduk ketika Dela melihat apa yang terjadi.

Mbah Wira tengah mengunyah ayam utuh, namun dalam kondisi mentah. Saat itu juga Dela lari ke kamarnya, berharap apa yang ia lihat itu salah. Kemudian, pikiran ini segera menjadi rasa curiga yang besar. Mbah Wirawati yang ia kenal bukan mbah Wira nenek yang dulu dekat dengannya.

Semakin hari Dela semakin curiga. Tidak hanya tingkah laku mbah Wira yang semakin di luar nalar, tapi setiap malam, bahkan ketika adzan maghrib dan isya, mbah Wira sangat suka mengeraskan suara radio yang tengah memutar tembang jawa. Bu Ida dan pak Imron, tidak dapat berbuat banyak. Karena setiap kali di tegur, mbah Wira akan melotot dan mengatai bahwa mereka anak durhaka. 

Lagu-lagu tembang jawa yang di dengar mbah Wira juga asing di telinga Dela. Meski ia tau beberapa kosakata jawa kromo inggil, namun beberapa kalimatnya ada yang asing, seolah itu tembang lama.

Terkadang Dela mencatat setiap syairnya. Beberapa selalu menceritakan tentang ritual dan hal-hal yang berbau mistis. Namun dari semua itu, Dela pernah tanpa sengaja, melihat mbah Wira tengah tertawa, ia duduk di kursi tua di dalam kamarnya. Tampak seperti sedang berbicara entah dengan siapa. Karena, ketika Dela mencoba mengintip dari celah pintu, mbah Wira seolah-olah tau, Dela sedang mengamatinya.

Puncaknya, ketika Mega datang ke rumah Dela untuk mengerjakan tugas kampus, baru saja Mega masuk, dia langsung tau ada yang tidak beres di rumah ini.

"Kenapa Meg?"

"Kamu cium bau amis ngga sih?" kata Mega sembari menutup hidungnya.

"Gw ngga cium apa-apa"

"Bau bangkai ini" kata Mega.

Mega tiba-tiba nunjuk ke salah satu kamar, yang rupanya adalah kamar mbah Wira.

"Kenapa Meg?" kata Dela

"Baunya dari sini del" 

Ragu diselimuti rasa takut. Dela hanya tidak tau, kenapa dari sekian banyak kamar, Mega justru menunjuk kamar mbah Wira.

"gw penasaran, bau apaan sih ini"

"Busuk sekali baunya"

Tanpa tau apa yang terjadi. Mega sudah melesat masuk, mencari dimana sumber bebauan itu, sampai matanya tertuju pada ranjang mbah Wira.

"Disini del baunya"

Dela yang sedari tadi hanya termangu, melangkah masuk dengan bimbang, ketakutan menyelimuti pikirannya.

TIANG KEMBAR (DIA BUKAN NENEKKU) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang