[Short story] Sejeong x Sehun
Pertemuan dua insan dari dua masa. Berjuang bersama merubah takdir. Mereka harus berhasil sebelum 49 hari jika ingin selamatkan dunia dan selamat dari kematian.
Prompt 1 dan 4 --- Di masa depan ada seseorang yang membuat mesin dan mengubah kenangan di masa lalu. Dan pohon sakura mulai berbicara padamu. ---
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Terjangkit influenza di masa pandemic adalah mimpi buruk. Aku hanya flu biasa, namun orang-orang menjauhiku layaknya kotoran. Aku terpaksa mengurus diri sendiri. Yah, walaupun biasanya aku selalu sendiri. Tapi kali ini, rasanya aku butuh teman untuk menemaniku sakit.
Aku keluar apartemenku membawa sekantung sampah. Kata dokter, aku tidak boleh keluar selama 14 hari, dan ini baru hari ke 10. Aku tidak punya pilihan. Karena hanya ada aku dan Mario—Kucingku di rumah ini. Sayangnya dia bukan kucing super yang bisa ku suruh membuang sampah. Dia hanyalah Kucing oren penganut sekte rebahan. Terserang flu tidak cukup membuatku gila untuk menyuruhnya membuang sampah.
Aku memilah sampah berdasarkan jenisnya, lalu tanpa sengaja mulut sialan ini bersin. Dan lebih sialnya lagi saat itu dua orang sedang berlalu. Aku menoleh, dan mereka menyemprotku dengan antiseptic. Hei! Aku tidak terjangkit corona virus. Seandainya saja kalian tahu apa yang ku lakukan selama ini. Kalian pasti akan sujud syukur di hadapanku. Mungkin.
Aku adalah mahasiswa tingkat akhir di Seoul National University, jurusan Biophysics and Chemical Biology, yang sedang berjuang di laboratorium bersama para profesor berotak cerdas—mayoritas mengidap penyakit rambut rontok—untuk menemukan penangkal virus Covid-19. Selain aku, ada juga mahasiswa dari jurusan Virology dan Clinical Pharmacology. Kami bertiga sama gilanya dalam belajar dan dianggap cukup kompeten. Entah aku harusnya bersyukur atau menyumpah. Karena setelah bergabung dalam kelompok jenius ini, aku merasa menjadi yang paling bodoh dan yang paling tidak pantas berada di dalamnya.
Hal itu terbukti dengan jatuh sakitnya aku. Sebagai ilmuwan, sudah sewajarnya aku menjaga kondisi tubuh sebagai bentuk tanggung jawab dalam penelitian. Namun, aku justru mengacaukannya. Yah, mau sehebat apapun aku, aku tetaplah manusia, bukan? Sudah sewajarnya jatuh sakit. Mereka saja yang terlalu berlebihan. Menganggap diri superhuman hanya karena menjadi ilmuwan.
Sebenarnya, aku bersyukur jatuh sakit. Karena setidaknya aku bisa beristirahat selama 14 hari setelah kurang lebih 2 bulan lamanya diriku berkutat di dalam laboratorium. Dan kini, tersisa 4 hari lagi. Aku melihat kalender, di hari ke-15 bertepatan dengan festival musim semi di danau Seokchon. Aku sudah membayangkan agenda apa yang akan ku lakukan hari itu. Aku ingin merayakan hari pertamaku lepas dari masa karantina.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sesuai keinginanku, aku memutuskan pergi ke danau Seokchon. Melepas penat sebelum kembali ke laboratorium. Untunglah flu yang ku derita sudah benar-benar hilang. Jadi aku tidak perlu khawatir lagi akan bersin di depan umum.
Danau Seokchon memang tak pernah gagal membuatku bahagia. Pemandangan di sini selalu bisa mengisi ulang hormon endorfinku. Aura semangatku selalu meningkat bila di sini. Tepatnya saat aku duduk di kursi pinggir danau sambil beratapkan pohon sakura. Kursi ini muat diisi oleh dua orang. Namun, sayang aku tak pernah datang bersama seseorang. Jangan khawatir. Aku tidak sedih. Pergi bersama pacar atau teman dekat adalah hal mewah bagi mahasiswa sains sepertiku. Kami cenderung lebih dekat dengan tabung reaksi dan larutan berbahaya ketimbang manusia.
Meskipun festival danau Seokchon tahun ini ditiadakan karena masa pandemic, tempat ini masih menyediakan pemandangan indahnya dengan pohon-pohon sakura yang bunganya serempak berwarna merah muda. Sungguh indah. Setidaknya musim semi tahun ini yang tidak seramai biasanya, tetap bisa mengobati luka dan kesedihan manusia di tahun 2020 yang tak berkesudahan. Doaku malam ini, semoga dunia lekas sembuh.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tiba-tiba telingaku diserang gelombang sonik berlebih. Dengung menjalar dan aku menutup kedua telingaku sebab tak tahan oleh dengungan tersebut. Dan—saat suara dengung itu menghilang, suara aneh muncul menggantikan.
"Kim Sejeong-ssi." Aku menoleh. Tidak ada siapa-siapa. Di belakangku pun tak ada orang-orang. Sekelilingku mendadak sepi. Namun, anehnya suara itu semakin nyaring memanggil namaku. Bulu di sekujur tubuhku meremang. Aku merinding.
"Aku di sebelah kirimu." Suara itu ingin membodohiku. Jelas-jelas di sampingku tidak ada orang. Yang ada hanya pohon sakura.
"Aku di dalam pohon. Bantu aku keluar." Aku berteriak. Sebuah tangan tiba-tiba keluar dari pohon sakura. "Jangan takut. Aku bukan hantu." Terlambat. Aku sudah merasa takut. Manusia normal mana yang berani saat melihat hal seperti ini. Apa terserang flu membuatku memiliki kemampuan supranatural? Kalau iya, aku harus segera menelitinya. Bisa jadi ini virus baru. Sejeong! Jangan gila. Mana ada virus seperti itu. Yang ada setelah ini aku harus ke psikiater. Mungkin stres pasca karantina membuatku mudah berhalusinasi.
"Baiklah aku keluar sendiri." Aku ingin segera berlari. Namun, kakiku terasa kaku. Tubuhku seperti dipaku di tanah ini. Aku pun memilih menutup mata sambil berdoa dalam hati. Sebuah tangan terasa mengusap rambutku. Aku mengintip sedikit. Memastikan makhluk di depanku ini menapak tanah atau melayang. Dan ternyata masih menapak tanah. Aku membuka mata dan langsung bernapas lega.
"Astaga! Ternyata benar, aku hanya berhalusinasi," ucapku sambil menstabilkan deru napas.
"Tidak. Kau tidak berhalusinasi. Aku memang keluar dari pohon sakura," ucap laki-laki dihadapanku. Aku sontak mendongakkan kepalaku menatapnya. Ia tersenyum seolah yang diucapkannya adalah hal wajar. Sedangkan aku mulai memucat dan sepertinya akan segera pingsan.
"Sejeong-ssi!" teriaknya. Ah, aku sudah pingsan ternyata.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.