[Short story] Sejeong x Sehun
Pertemuan dua insan dari dua masa. Berjuang bersama merubah takdir. Mereka harus berhasil sebelum 49 hari jika ingin selamatkan dunia dan selamat dari kematian.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rutinitasku dengannya terus berulang. Bisa dikatakan penelitianku sudah berjalan 70%. Aku melihat jam tangan khusus miliknya yang menunjukkan sisa harinya berada di sini. Tersisa 10 hari lagi. Aku menghela napas. Aku khawatir tidak sempat menyelesaikannya.
"Kalau pun ini tidak selesai. Aku tetap akan menyelamatkanmu dari ledakan hari itu." Sepertinya ia sedang membaca pikiranku yang khawatir akan penelitian dan takdir kematianku. "Aku tidak akan membiarkanmu meninggal."
Entah setan apa yang sedang merasukiku. Aku tersentuh dengan ucapannya dan mataku mulai berair. Sehun kembali membelai kepalaku. Persis seperti pertemuan pertama kami di pinggir danau Seokchon. "Percayalah. Aku akan melindungimu."
"Sehun. Berapa umurmu?" aku kembali menanyakan umurnya.
"Kau tidak perlu tahu umurku sekarang," ucapnya lalu tersenyum.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Waktu benar-benar bergulir dengan cepat. Aku dan sehun sudah berada di hari ke-49. Hari kematianku.
"Jangan bekerja di Lab hari ini."
Aku melepas lengannya yang menahan lenganku. "Aku harus menyelesaikannya. Kau sendiri yang bilang bahwa penelitianku ini penting."
"Tapi kau akan meninggal jika berada di lab hari ini."
"Kalau memang takdirku meninggal hari ini. Aku tetap akan meninggal di manapun aku berada." Aku hampir menangis saat mengucapkan kalimatku sendiri. Sehun menatapku lirih. Namun, hal itu tak cukup untuk menghentikanku.
Akhirnya, dia memilih mengikutiku, dan mengecek segala macam hal berbahaya. Dia benar-benar memastikan tidak akan ada yang meledak hari ini. Aku memperhatikannya diam-diam. Hari ini adalah hari terakhirnya di sini, entah mengapa aku merasa sedih. Apa aku mulai menyukainya?
"Kau sudah selesai?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Kita berhasil. Aku—" belum selesai bicara, dia mendadak memelukku. Jantungku serasa melompat.
"Kita harus keluar sekarang!" Sehun menarik lenganku. Tiba-tiba suara ledakan terdengar dari laboratorium sebelah. Sehun mengajakku berlari. Kepulan asap semakin besar dan juga ledakan susulan. Saat di tangga, kakiku melemah. Sepertinya aku telah menghirup gas beracun. Akhirnya kami berhasil sampai di lantai dasar. Namun, aku baru sadar ranselku tertinggal. Ransel tersebut berisi laptop dan juga berkas-berkas penelitian.
Sehun menyuruhku menunggu di luar. Dia kembali berlari ke dalam gedung. Aku ingin menahannya namun tak memiliki tenaga dan berakhir pingsan. Saat membuka mata, aku sudah berada di rumah sakit. Orang tuaku menangis melihatku siuman. Aku melihat sekeliling, mencari sehun. Aku bertanya kepada ibu apa ada seorang pria yang ditemukan bersamaku malam ledakan itu. Namun, ibu menjawab tidak. Hanya ada aku seorang diri.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Satu tahun berlalu. Dunia sudah pulih. Penelitianku sungguh berhasil menjadi anti virus. Persis seperti ucapannya. Aku tersenyum saat menatap pohon sakura yang menjadi tempat Sehun muncul dulu. Sejak malam itu aku tak pernah lagi berjumpa dengannya. Aku tidak tahu apakah dia berhasil kembali ke masa depan atau tidak.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku berjalan menyusuri pinggir danau. Bunga sakura berguguran mengiringi langkahku. "Maaf," ucap seseorang yang tak sengaja menabrakku. Aku terkejut. Remaja laki-laki berseragam SMA yang barusan menabrakku adalah—Sehun.
"Sehun," ucapku tak sadar.
"Hah? Bagaimana anda tahu nama saya."
Aku kebingungan. Lalu menunjuk name tag di seragamnya. "Kau kelas berapa?"
"Kelas 12 dulu. Karena hari ini adalah hari kelulusan saya."
"Apa kau berencana kuliah?"
"Nde. Di—"
"SNU."
"Wah, bagaimana noona bisa tahu?"
"Terlihat jelas di wajah bahagiamu."
"Be-benarkah?" ucapnya malu-malu.
Aku tidak menyangka ternyata Sehun dari masa depan yang ku temui hanyalah seorang siswa SMA di masa kini. Pantas saja dia tak mau memberi tahu umurnya. Aku mengusap kepalanya sambil mengucapkan selamat. Sehun yang sekarang tidak mengenalku. Jadi, aku memutuskan untuk pergi saja dan akan menunggunya sembilan tahun lagi.
"Aku akan menunggumu. Sehun."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.