In The End (2)

11 3 0
                                    

Teman Sebangku Side Story...

Malamnya usai menolong perempuan itu, untuk pertama kalinya tidurku dibuat tak nyenyak hanya gara-gara itu. Tapi aku juga bersyukur bisa menolongnya. Kalau tidak bisa gawat.

Makin lama, aku semakin memikirkan sikapku ke perempuan itu. Kalau dipikir-pikir, aku selalu bersikap dingin padanya dari awal. Tapi aku juga tak tahu kenapa aku bersikap seperti itu.

Jika dibilang gara-gara aku membuka buku hariannya dan membaca isinya, lalu mengetahui kalau ia menyimpan perasaan padaku, sepertinya tidak. Aku bahkan tidak pernah menggubris perempuan yang suka padaku. Aku memang tak mau saja. Aku hanya ingin memilih satu wanita dan itu untuk seumur hidupku.

Tapi kalau Tuhan telah menakdirkan dia untukku, aku tak mengapa. Itu sudah takdirku. Mungkin aku akan mewawancarainya terlebih dahulu pertanyaan yang selalu membuat kepalaku berbelit. Kenapa ia sangat pendiam dan juga kenapa ia bersikap dingin seperti itu? Mungkin. Atau pertanyaaku itu malah pantas diajukan untuk diriku, bukan dirinya?

***

Di hari wisuda ini kuhabiskan waktuku di rooftop. Menyaksikan mereka yang tengah asyik menikmati wisuda. Daripada mengikuti obrolan para orang tua bersama Ayah yang begitu membosankan. Bagiku, hanya dengan melihat mereka dari kejauhan itu sudah cukup.

Sesaat pandanganku tertuju pada perempuan berkerudung merah muda dengan dress kebaya berwarna senada. Entah mengapa ia terlihat begitu anggun dan menyejukkan dibanding yang lain. Tawanya yang selalu merekah membuatnya seperti bidadari. Juga membuat jantungku berdegub kencang tak karuan.

"Astaghfirullah. Liat apa sih, gue? "Ucapku tersadar karena melihatnya terlalu lama. Tiba-tiba aku merasa gelisah sendiri.

Beberapa menit kemudian azan Salat Duhur terdengar. Aku segera turun menuju masjid. Berusaha menenangkan hati dan mohon ampun pada-Nya. Usai salat aku bertemu dengan Ayah. Ayah mengajakku langsung pulang tanpa ikut acara makan-makan. Aku mengiyakan permintaannya. Sebelum itu aku meminta izin untuk pergi ke kelas, mengambil barang.

Aku melihat perempuan itu lagi. ia baru saja keluar dari kelas dan menuju ke arah yang berlawanan denganku. Aku langsung menuju kelas, mengambil barangku yang ada di laci.

"Bolpen? Perasaan aku gak pernah punya bolpen kayak gini? "Tanyaku pada diri sendiri. Aku mencoba mengingat. "Jangan-jangan bolpennya cewek itu? Kebawa waktu ngerjain diskusi? Selama itu? "

Usainya aku langsung menuju parkiran. Cewek itu ternyata juga ke parkiran. Aku berniat untuk mengembalikan bolpennya, jika memang itu miliknya. Seketika aku gugup dan gelisah. Entah apa yang terjadi pada diriku ini. Hari ini sungguh aneh. Ia sepertinya bersiap langsung pergi. Kuurungkan niatku mengembalikkan bolpennya. Aku menghampiri motorku dan memakai helm yang kuletakkan di sana.

"Ayah langsung pergi, ya. Hati-hati, ya. Baik-baik sama Bunda. Ayah langsung pulang kok, kalau udah selesai. "Pamit Ayah padaku. Beliau akan pergi ke luar kota lima hari kedepan.

"Iya, Yah. Sering-sering telpon. "Balasku tersenyum sembari memeluknya lembut.

"Jangan lupa persiapan kuliahnya, "pesan beliau untuk terakhir kalinya sebelum masuk mobil.

Lalu kami keluar sekolah secara bersamaan. Terlebih lagi arah kami searah. Dari kaca spion, terlihat perempuan itu berboncengan dengan Ibunya menuju arah yang berlawanan. Ia melihat ke arahku. Kutatap wajah di balik kaca helm itu untuk terakhir kalinya. Hingga kami tak terlihat, terputus oleh jarak.

Side Story End...

Ini tahun keempat aku masuk kuliah. Namun, aku tak henti-hentinya memikirkan lelaki yang pernah menempati hatiku. Gara-gara bolpenku yang tak kunjung ia kembalikan, aku jadi terus memikirkannya. Apalagi saat aku memegangnya. Kalau bukan karena memikirkan pelajaran kuliah yang begitu sulit, pasti aku sudah tak fokus.

Sore ini aku baru saja mengikuti sidang skripsi. Sungguh melelahkan. Aku duduk di bangku taman belakang kampus. Mencari udara sejuk, melepas penat. Aku memejamkan mata menghadap langit. Mencoba menikmati udara yang semilir.

"Assalamua'laikum, boleh duduk? "Suara itu membuyarkanku.

"Wa'alaikumussalam. "Aku membuka mataku, ada seorang lelaki dihadapanku. "Iya, boleh. "Aku menggeser dudukku yang semula di tengah, berpindah ke pinggir.

"Aku mau balikin bolpen lo, "lelaki itu menyodorkan sebuah bolpen padaku. Aku yang bingung, langsung menerima bolpen itu.

Aku mengamati bolpen itu. Sepertinya aku pernah memilikinya. Jangan-jangan, lelaki itu?

"Sekarang kayaknya lo udah berubah, ya? Gue sering liat lo sekarang kemana-mana punya temen. Gak kayak dulu. "Ucap lelaki itu tanpa melihat kearahku. Mungkin dugaanku benar, ia lelaki itu. Tapi, kenapa dia di sini?

"Kamu tau dari mana? Kok, kamu bisa bilang kalo aku berubah? "Tanyaku memastikan.

"Gue tau karena kita satu kampus. Tapi ada kan, yang gak berubah sampe sekarang? "Tanyanya lagi yang membuatku bingung. Bahkan jawabannya itu membuatku berpikir keras.

"Memangnya apa yang gak berubah? "

"Perasaan lo ke gue dari SMA. "

Sudah kuduga. Ternyata ia lelak yang kusukai itu. Hal yang paling mengejutkan ialah, kenyataan bahwa da satu kampus denganku. Bagaimana bisa aku tak tahu hal itu?

Aku hanya bisa diam dengan pikiran yang berlarian keman-mana mendengar jawaban itu. Aku melihatnya sekilas, ia malah memjamkan mata dan menghadap langit sama sepertiku lagi.

"Jadi, itu kamu? Yang sempet baca buku harianku? "

"Taaruf, yuk? "

"Apa? "

"Taaruf. "

"Taaruf? "Aku memastikan ajakannya yang tiba-tiba dan aneh itu. Saat ini aku belum bisa jawab. Aku harus izin Ayah terlebih dahulu. "Lebih baik, bertanya kepada yang lebih berhak. "Jawabku.

"Gue tau, kok. Gue tunggu undangan ke rumah lo. "Ucapnya melihat ke arahku dengan ekspresi yang datar, sama seperti dulu. Tapi, kemuadian ia menampakkan senyum tipisnya yang membuat jantungku berdegub kencang dan harus mengucap istighfar berulang kali.

"I..., iya. "

"Nanti malam juga boleh, kok. "

"Ayah? "

And that's how this Love Story began...

*

**

***

-The End-

Love Story BeganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang