Seyeon memandangi langit sore. Senja sudah tiba dan ia belum menemukan satu keping perak pun hari ini. Perutnya memberontak, minta diisi. Seyeon menghela napas. Kenapa tidak ada orang yang menggunakan jasanya hari ini? Ia bisa melakukan apapun, selama itu dibayar pantas. Kadang ia mencarikan bunga di bukit, memanen jagung, memperbaiki jendela rumah, atau sekadar menemani seorang wanita kaya berbelanja. Pekerjaan kecil seperti itu mampu membuatnya bertahan hidup dari hari ke hari.
Seyeon mendesah pasrah dan berjalan lunglai ke rumah. Langkahnya terhenti saat seseorang yang ia kenal bersandar di depan pintu rumahnya. Senyum Seyeon terkembang kala laki-laki itu tidak datangan dengan tangan kosong, melainkan sekantung roti yang menguarkan aroma lezat.
"Aku tahu kau lapar, jadi aku membelikanmu sepotong roti."
Seyeon hampir saja melompat untuk memeluk laki-laki itu, namun gerakannya kalah cepat. Laki-laki dengan senyuman manis itu mengelak satu langkah ke kiri hingga Seyeon memeluk udara kosong. Jisung—namanya—tertawa melihat kelakuan konyol Seyeon yang kini menekuk wajah, cemberut.
"Aku haya ingin memelukmu. Apa salahnya?" sungut Seyeon menatap Jisung dengan alis hampir menyatu. Tatapan Seyeon jatuh pada sekantung roti yang ada di tangan kiri Jisung.
Itu bisa untuk tiga hari!
Seyeon membuka pintu rumah dan mempersilakan Jisung masuk. Rumah Seyeon amat sangat sederhana, tidak banyak perabotan namun sangat nyaman untuk ditinggali. Mereka duduk di meja makan dan Seyeon mulai mengunyah roti yang tadi dibawakan Jisung.
"Aku bingung kenapa kau tidak mencari pekerjaan tetap saja dibandingkan hanya mengandalkan orang yang membutuhkan bantuanmu?" tanya Jisung saat mereka berkutat dengan roti masing-masing. Awalnya Seyeon melotot saat Jisung ikut memakan roti yang ia bawa—jatah miliknya kan jadi berkurang—tapi kalau ia menyuarakan protesnya dan Jisung tidak mau membawakan roti lagi, bagaimana?
Seyeon mengangkat bahu, acuh. "Aku sudah pernah bekerja sebagai tukang cuci piring di kedai makan, tapi mereka memecatku hanya karena satu piringnya tidak sengaja aku pecahkan. Aku juga pernah menjadi kasir, tapi mereka memecatku hanya karena aku menegur seorang anak bangsawan yang ketahuan mencuri. Padahal niatku baik agar tidak ada yang mencuri barang tokonya, tapi dia malah memarahiku. Sinting."
Seyeon mengunyah rotinya ganas. Ia baru saja kehilangan pekerjaan terakhirnya seminggu yang lalu. Saat itu ia tidak sengaja melihat seorang anak laki-laki memasukkan barang yang belum ia bayar ke kantung bajunya, dan Seyeon pun menegurnya. Seyeon menyuruh agar anak itu tidak melakukan hal yang tidak baik. Dia juga berjanji menutup mulut asalkan barang tersebut dikembalikan ke tempat semula.
Namun bukannya berdamai dengan baik, anak itu malah berteriak keras dan menangis tersedu-sedu lalu memutar balikkan fakta. Ia mengatakan bahwa Seyeon menuduhnya mencuri padahal ia akan membayar. Yeli, si pemilik toko langsung kalang kabut begitu mengetahui bahwa anak yang berteriak dan menangis ini adalah anak dari salah satu keluarga yang cukup berpengaruh di kota itu. Yeli balik memarahi dan memecat Seyeon tanpa ampun. Ia lebih percaya ucapan anak kecil berumur 10 tahun di bandingkan dirinya.
"Awas saja kalau anak itu muncul di depan hidungku. Akan kubuat dia menyesal." Tanpa sadar Seyeon meremas rotinya hingga tak berbentuk lagi. Lalu tanpa bersalah, ia memasukkan roti yang tak berbentuk itu ke dalam mulutnya dan mulai mengunyah.
Jisung tertawa kecil menikmati pergantian ekspresi Seyeon yang lucu. Baginya, Seyeon adalah satu-satunya sahabat yang sangat berharga untuk ia jaga. Karena itulah ia membawakan banyak roti untuk gadis itu karena ia tahu, Seyeon tak menggenggam satu perak pun hari ini.
"Jadi, ada apa kau datang ke sini? Aku tahu Tuan Tampan ini tidak datang untuk memberikanku roti secara percuma."
Seyeon memicingkan mata, menatap curiga ke arah Jisung.
![](https://img.wattpad.com/cover/228965935-288-k1487.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
THE FLAXEN | Choi Yeonjun
FanfictionTujuan awal Seyeon ke ibukota adalah untuk menemukan kakak kandungnya yang menghilang. Namun ibukota tidak hanya tentang keberadaan kakaknya, lebih dari itu.