Seyeon tak lagi memperhatikan bagaimana kelompok pencopet itu pergi melarikan diri. Laki-laki yang menolongnya kini tergeletak di tanah dengan darah merembes dari balik pakaiannya.
Tidak, tidak!
Seyeon mendekati laki-laki itu—telinganya menangkap suara erangan tertahan. Kaki laki-laki itu bergerak gelisah, sementara jemarinya kini berwarna merah darah. Seyeon tercekat.
"H-hei."
Seyeon menyentuh pundak laki-laki itu panik. Seyeon memalingkan wajahnya ke arah sela-sela gang. Keramaian jauh di sana, suaranya tak akan sampai meski ia berteriak. Apa yang harus ia lakukan? Tanpa sadar Seyeon manarik kaus laki-laki itu demi melihat luka tusuk yang kini mengeluarkan darah dengan begitu banyak.
Suaranya bahkan tak keluar. Tapi untuk berlari ke ujung gang dan meminta bantuan orang-orang, kakinya melumpuh.
Apa yang harus aku lakukan? Berpikir. Berpikir!
"Ah, di sini kalian ternyata."
Seyeon mendongak, sudut matanya berair akibat frustrasi tak bisa menolong. Di depannya berdiri laki-laki berwajah yang memberikan misi. Namun ia tak sendiri. Ada sekitar lima orang berpakaian seragam hitam yang wajah mereka tak dihiasi senyum.
"T-tolong dia. D-dia berdarah." Suara Seyeon bergetar. Namun tak ada di antara mereka yang bergerak. Seolah seseorang yang sedang sekarat tidak membutuhkan bantuan.
Laki-laki itu berjalan mendekat, lalu melempar sebuah kantung biru sebesar kepalan tangan, mendarat tak jauh dari lututnya. Seyeon menatap kantung itu tak mengerti, lalu mendongak.
"Itu bayaranmu, sesuai yang aku janjikan," ucapnya tanpa emosi.
Laki-laki itu mengangguk ke arah kelompok berseragam. Dengan sigap dua di antara mereka menarik tubuh laki-laki yang berdarah tadi dan memapahnya.
"T-tunggu! Kalian siapa?" tanya Seyeon bingung. Ia masih bersimpuh di tanah dengan banyak tanda tanya di kepala. Langkah mereka terhenti, namun suara dingin laki-laki berwajah seram itu membuat Seyeon tak lagi bertanya.
"Itu bukan urusanmu."
Saat mereka berjalan menjauh, mata Seyeon sempat menangkap tanda sabit hitam si laki-laki yang tadi tertusuk. Tanda sabit hitam itu...
Seyeon berpaling ke arah kantung yang tadi dilemparkan Gil. Tak percaya, ia menyentuh dan membuka kantung itu cepat.
Sekantung emas!
Seyeon membelalakkan matanya tak percaya. Emas sungguhan? Seyeon menolehkan kembali kepalanya, namun mereka sudah tak ada disana, menghilang entah kemana, membawa pergi si laki-laki penolong yang baru Seyeon sadari berambut kuning, persis seperti ciri yang disebutkan.
Jangan bilang... dia benar-benar anak raja?
___
Seyeon memandangi kantung emas di depannya tanpa berkedip. Ia menyentuh sekeping koin emas itu dengan ujung jarinya. Lalu memutar-mutarnya. Seyeon sudah melakukan itu sejak sejam yang lalu dan untungnya belum merasakan bosan. Ia belum membelanjakan sekepingpun meski hatinya sangat ingin.
Kenapa? Karena Seyeon merasa ia bukankah pemilik dari sekantung emas yang ada di hadapannya ini. Seyeon merasa perlu mengembalikannya, berikut dengan sejuta pertanyaan yang menurut dirinya lebih penting daripada sekantung emas.
Tapi bohong.
Jauh di dalam hatinya, Seyeon ingin sekali menggunakan uang itu untuk bepergian ke ibukota untuk mencari kakaknya. Ya, seseorang yang Seyeon cari setahun belakangan ini adalah kakaknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
THE FLAXEN | Choi Yeonjun
Hayran KurguTujuan awal Seyeon ke ibukota adalah untuk menemukan kakak kandungnya yang menghilang. Namun ibukota tidak hanya tentang keberadaan kakaknya, lebih dari itu.