"Sekantung emas. Aku akan membayarmu sekantung emas kalau bisa menemukan dia."
"Setuju."
Seyeon hampir saja menggigit lidahnya, menyadari betapa cepat ia menjawab setelah ditawarkan sekantung emas. Hei, kalau berbicara tentang emas, siapa tidak mau? Hidupnya akan terjamin selama beberapa bulan kalau ia berhemat. Lagipula misinya hanya menemukan seseorang. Sepertinya tidak sulit.
Laki-laki dengan tubuh tegap itu menatap Seyeon beberapa detik, seolah memikirkan dan menimbang sesuatu. "Dia laki-laki seumuranmu." Seyeon mengangguk kecil, nyaris tak terlihat.
"Baiklah. Kalau begitu tiga hari pastilah cukup untuk sekantung emas."
Tanpa menunggu jawaban dari Seyeon, laki-laki itu membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi. Seyeon menarik napas, berusaha menenangkan diri. Setelah laki-laki itu pergi, baru ia mendapatkan kembali kesadarannya.
Bagaimana caranya agar aku bisa mengintip perut seorang laki-laki?!
___
Seharusnya Seyeon tidak menerima misi itu sejak awal. Ia tidak perlu repot-repot untuk berpikir dan mencari seseorang yang sangat-sangat mustahil untuk ditemukan.
Seyeon melemparkan kerikil yang ada di tangannya dengan ganas. Alih-alih mengenai buah ranum di atas pohon sana, ia malah membidiknya mengenai sarang lebah yang kini bergoyang pelan.
Hei, aku tidak melihat sarang itu sebelumnya!
Sebelum pasukan lebah itu menyadari ada anak manusia di bawah sana yang melempari rumah mereka dengan batu, Seyeon lebih dulu mengambil langkah seribu dan mulai memikirkan cara untuk menemukan si laki-laki pirang dengan sabit hitam di pinggang sebelah kanan.
___
Sudah tiga hari berlalu, dan apapun yang Seyeon lakukan, nihil. Ia sama sekali tidak mempunya ide tentang seseorang yang berada di kota kecil ini dengan sangat kebetulan memiliki tanda sabit hitam sialan itu. Ia sudah mencurigai beberapa orang laki-laki seumurannya yang berambut pirang, tapi sama sekali tidak punya ide tentang bagaimana bisa membuktikan bahwa mereka mempunyai tanda itu.
"Seyeon?"
Lambaian tangan di depan wajahnya mengembalikan kesadaran Seyeon. Ia menegakkan tubuh dan mendapati Jisung berdiri di depannya. "Ya?"
"Aku sudah memanggilmu berulang kali tapi kau tidak merespon." Seyeon mengerjab. Separah itukah ia memikirkan sekantung emasnya?
"Ada masalah apa?"
Seyeon menggeleng pelan, "Aku hanya harus merelakan sekantung emasku," gumamnya pelan. Jisung tampak tidak mengerti. "Maksudmu?"
"Lupakan. Ada perlu apa mencariku?" Seyeon duduk memeluk lutut di pinggir sungai dangkal. Sungai itu berada tak jauh di belakang rumahnya, tempat yang ia tuju saat sedang marah, bingung, atau kesal. Seyeon merabakan tangannya di tanah dan mendapatkan sebuah kerikil yang pas, lalu melemparnya ke arah sungai. Kerikil pipih yang dilemparnya menampar permukaan air sebanyak tiga kali sebelum kemudian tenggelam seluruhnya.
"Aku tidak menemukanmu di rumah, jadi kupikir kau ada disini. Dan ternyata benar." Jisung berdehem. Sedikitnya ia bisa mengetahui ada yang tidak beres pada Seyeon hari ini. "Yisoo menanyaimu."
Seyeon menoleh, menatap Jisung yang sudah mengambil tempat di sampingnya. Jisung melakukan hal yang sama seperti dirinya—melemparkan kerikil pipih ke sungai. Sama seperti dirinya, Jisung juga membuat kerikil yang ia lempar menampar permukaan sungai sebelum kemudian tenggelam.
Ah, aku hampir saja lupa tentang itu.
"Kukatakan padanya kalau kau sedang sibuk dan belum bisa datang ke rumah." Jisung menoleh ke arahnya. Kini mereka berdua bertatapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE FLAXEN | Choi Yeonjun
FanfictionTujuan awal Seyeon ke ibukota adalah untuk menemukan kakak kandungnya yang menghilang. Namun ibukota tidak hanya tentang keberadaan kakaknya, lebih dari itu.