Titisan sang bunda

367 42 15
                                    

Wangi kamboja memaksa masuk indra penciuman. Dengan kaca mata hitam, dan setangkai mawar yang tergenggam. Dengan gagah, Arga memasuki area makam. Faga, dengan gumam kecilnya, berkelana menyusuri jalan ke tempat sang ibu di semayamkan.

"Assalamualaikum, Mom. Faga kesini lagi. Sama Dad juga," ocehnya. Arga tersenyum. Karakter ceria dari sang istri turun sempurna pada anak semata wayang mereka.

"Pagi, Sayang."

Sapa Arga, dengan meletakan setangkai mawar di samping nisan. Mengusap pelan batu berukir nama wanita terkasihnya dengan sangat lembut. Seakan takut, sentuhannya akan melukai. Lagi-lagi, sesak memenuhi rongga dadanya. Hampir setiap hari, selama empat tahun belakangan, ia rutin kesini, kecuali ada hal yang mengharuskannya keluar kota.

"Mom, Dad sedih telus. Bilangin, kalau sedih, gantengnya ilang. Buat Gaga semua."

Arga menoleh, anaknya mengadu ke ibunya, membuat mau tak mau Arga tersenyum. Meraih pinggang faga, untuk duduk di pangkuannya.

"Siapa bilang, Dad sedih? Dad cuma lagi rindu sama Mommy, Sayang."
Faga mengangguk. Ia juga.

"Dad aja rindu, apalagi Gaga? Nggak pelnah ketemu, " cicit Faga. Arga tersentak. Sesuatu yang tak kasat mata menamparnya. Bagaimana ia bisa seegois ini? Bagaimana ia merasa bahwa ialah yang paling kehilangan  atas kepergian Nafia? Melupakan buah hati, yang sedari lahir tak merasakan kelembutan ataupun kecupan sayang dari sang ibu. Di peluknya tubuh Faga erat. Menunpahkan air mata yang selalu gagal terbendung ketika mengingat masa lalu. Sampai Arga merasakan tepukan ringan di punggungnya.

"Stt, jangan nangis. Mom nggak suka cowok cengeng."

Faga mendorong tubuh besar sang ayah, lalu mengusap pelan pipi yang basah. Membuat Arga tersenyum.

"Tapi Mom, suka Dad. Kamu harus tau itu."

Arga terkekeh, Faga menatap penuh minat. Lalu menggeleng.

"Mom lebih sayang, Gaga. Buktinya, kata Dad, Mom mau gendong Gaga delapan bulan di perut. Emang Dad pernah di gendong Mom?"

Polos sekali. Arga tersenyum, lalu menggeleng. Ia tak pernah di gendong Nafia. Karena Nafialah yang selalu di gendongnya.

"Iya, Mom sayang kita."

Pungkasnya. Gaga tersenyum, memperlihatkan sederet gigi yang rapi.

"Nggak capek, kesini tiap pagi?"

Suara itu, membuat Arga menoleh.
Sosok wanita cantik berpakaian kurang bahan menyambut tolehannya. Membuat Arga menghembuskan napas kasar. Lagi dan lagi, sang mantan enggan menyingkir dari hidupnya. Siapa lagi, kalau bukan Rania.

"Dia sudah mati, Arga. Nggak baik terlalu larut dalam kesedihan. Empat tahun sudah berlalu. Sekarang, kamu harus membuka hati. Kasian Faga, dia butuh ibu yang merawatnya."

Arga meraih tangan Faga, membuat anak kecil itu menatap aneh kedua orang dewasa di hadapannya. Ia tak paham, tapi mengerti, bahwa wanita ini menginginkan ayahnya.

"Nggak lucu, kalau kita mengulangi perdebatan di tempat sakral, juga di depan anakku. Kamu sudah dewasa, jangan terlalu berpikiran sempit."

Tenang, tapi dalam. Membuat Rania, mendengus kasar.

"Kamu juga sudah dewasa, seharusnya jangan berlarut dan membunuh masa depan dengan alasan masa lalu! Lihat, anak mu butuh ibu. Dia butuh kasih sayang wanita."

Tak mau kalah, Rania membalas ucapan sengit dari sang mantan. Arga menatap tajam wanita di hadapannya. Ingin meledakkan amarah, ia ingat. Ada Faga yang tak seharusnya melihat ayahnya menjadi monster. Laki-laki itu duduk, menyamai tinggi Faga. Lalu memegang pundak anaknya.

"Faga mau ibu kaya, tante ini nggak? Hem?"

Arga bertanya. Membuat Rania tersenyum, penuh kemenangan. Anak kecil tau apa? Setelah ia menikah dengan sang ayah. Ia akan membuat Arga melupakan darah daging dari wanita sialan itu.

Faga mendongak, menatap wajah Rania yang tersenyum manis ke arahnya. Lalu menggeleng.

"Nggak mau, tantenya aneh."

Jleb. Wajah manis Rania memerah seketika. Arga menutup mulut yang dengan lancangnya ingin menyemburkan tawa. Anaknya polos, seperti ibunya. Sampai tingkat nyelekut dalam ucapan mereka sama.

"See, sudah dengar kan? Anakku saja tau kalau kamu aneh. Apalagi, aku Nia!"

Arga memutar tubuh menghadap makam Nafi. Lalu tersenyum kearah nisannya.
'terimakasih untuk dia yang kita sayangi'

Setelah menggumamkan selamat tinggal, dan kecupan singkat di nisan ibunya. Faga menarik tangan ayahnya untuk menjauh dari tante  aneh  menurutnya. Arga tersenyum di kulum, mendengarkan makian dan sumpah serapah yang di ucapkan Rania.

**

Jangan jadi readers yang silent. Oke 😉

Bukan diaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang