FOREWORD: Penulis amatir. Bacaan ini diperuntukan kepada pembaca berumur 18+. Tulisan ini mengandung sexual content, strong language, dan violence. Jika ada kesamaan nama, tempat, atau jalan cerita itu hanya kebetulan semata. Apologize in advance jika terdapat typo, kesalahan pemilihan diksi, ejaan yang salah dan penulisan yang tak rapi. Bacaan ini dibuat untuk menghibur. And please do not copy my story without my permission.
Backsound: The Weeknd - Earned It. Sam Smith - I'm Not the Only One.
Just read and enjoy~
CHAPTER TWELVE – MINE
JUSTIN MIGUEL THADDEUS
Dugaanku tak pernah meleset. Eleanor menjadi milikku seutuhnya, Ayah dan Margery meninggal, Abigail tidak akan menikah dengan duke yang telah Ayah janjikan, dan Geoffrey akan kujadikan panglima perang. Sulit untukku mencari pria yang tepat untuk Ibuku dan Abigail, mereka berdua membutuhkan pasangan. Ibu tentu akan menerima gagasan ia akan menikah lagi dan Abigail... mungkin ia tidak akan menyukai gagasan itu datang dariku. Oh, ini memang salahku telah membuatnya begitu mencintaiku, seharusnya aku membatasi perhatianku agar ia tidak begitu bergantung padaku. Abigail selalu percaya aku miliknya sepenuhnya dan ia memang benar, meski tidak secara harfiah. Aku mencintai Eleanor seperti penyakit yang tak bisa disembuhkan. Perasaan yang begitu menyakitkan bila tidak bisa melihatnya dan penyakit yang membuatku kecanduan untuk membahagiakannya terus menerus. Dan harus kuakui, aku kalah karena cinta. Hanya Eleanor yang dapat membuatku melakukan hal yang tidak pernah kulakukan sebelumnya. Bercinta dengan perawan? Hanya dengannya. Membicarakan seorang pelayan dalam tiap percakapan keluarga? Hanya dia seorang. Tidak membunuh orang yang seharusnya kubunuh? Ia berhasil membuatku menahan diri untuk tak melakukannya dengan tanganku sendiri—kecuali Ralph, ia memang bukan orang yang seharusnya kubunuh sejak awal.
Ibu naik ke singgasana dengan pakaian serba hitam, termasuk tudung rambutnya yang tidak menutupi mahkotanya. Ia tampak cantik meski tanpa perhiasan selain mahkotanya. Ibu lebih mudah menerima kematian Ayah dibanding Abigail, sesuatu yang sangat kusyukuri. Karena mengurus satu orang saja sudah sangat sulit. Yah, bukan keluarga Thaddeus namanya jika orang itu tidak menyulitkan. Dan Eleanor tampaknya cocok dengan nama belakang itu, ia bahkan lebih menyulitkan dibanding keluarga Thaddeus. Aku menyeringai memikirkannya. Ia akan duduk di sebelahku dalam beberapa saat lagi. Aku meraih tangan kanan Ibu lalu membungkuk, mencium punggung tangannya.
"Selalu luar biasa seperti biasanya, Yang Mulia," pujiku membuatnya tersipu. Oh, Ibu dengan sikapnya yang pemalu. Tak heran mengapa Ayah bisa menyukainya—dan bingung mengapa ia tidak dapat mempertahankan kekagumannya pada Ibu yang kecantikannya yang tak pernah berkurang—namun gagasan mengambil biarawati dari gereja bukan tindakan yang terpuji, terutama untuk seorang raja.
"Begitu juga kau, Miguel." Aku mengajak Ibu agar ia duduk di sebelah kananku. Geoffrey dan adik-adikku yang lain sudah duduk di kursi mereka, kecuali Abigail. Aku sudah membujuknya namun ia bersumpah akan bunuh diri jika aku berani menyeretnya keluar dari kamar. Tidak ingin kehilangan adik terbaikku, aku terpaksa mematuhinya. Mungkin lebih baik bila ia tidak menyambut keluarga Hughes. Sikapnya berubah sejak kematian Ayah. Ia menjadi orang yang tak pernah kukenal, pembangkang, sulit diatur, dan jarang berbicara—bahkan tidak pernah ramah pada siapa pun di istana. Dan kemarin merupakan sikap terburuk seumur hidupnya.
Eleanor muncul dari mulut lorong di sisi kiriku yang ditutupi dengan tirai putih dengan garis-garis rumit berwarna emas berkilau. Nafasku tercekat melihat kecantikannya yang tak biasa. Rambut merah yang biasanya mencolok itu tertutupi tudung hitam—seperti tudung biarawati—dan memakai gaun berwarna hitam dengan kain muslin yang halus. Pemandangan baru ini membuatku sulit berkata-kata, bahkan ia belum memberikan senyum hangatnya. Sial! Begitu Eleanor naik ke atas singgasana, pelayan di belakangnya berhenti dan mengambil tempat di samping singgasana. Wanita itu masih menunduk, seolah-olah menunggu momen yang tepat untuk mendongak dan membuatku terpukau. Kemudian ia mendongak. Cahaya matahari pagi yang berasal dari langit-langit tak tertutup membuat mata birunya lebih cerah dan lebih biru. Demi Tuhan, ia adalah mahluk terindah di muka bumi! Hadiah terbaiknya, Eleanor bukan wanita bodoh dan jahat seperti yang diceritakan di dongeng atau cerita rakyat. Ia wanita muda yang senang membantu, menyibukkan diri dan tidak begitu mementingkan penampilannya—ia seindah hamparan bunga matahari.
YOU ARE READING
Beautiful Slave
RomanceSebuah cerita yang menggambarkan kehidupan kerajaan Cardwell. Dimana seorang putra sulung raja yang berdarah dingin mendapatkan gadisnya bagaimana pun caranya. Sekalipun itu membunuh, ia akan melakukannya. Dan bagaimana seorang gadis yang hidupnya d...