Chapter 14 - As You Wish

17K 912 17
                                    

FOREWORD: Penulis amatir. Bacaan ini diperuntukan kepada pembaca berumur 18+. Tulisan ini mengandung sexual content, strong language, dan violence. Jika ada kesamaan nama, tempat, atau jalan cerita itu hanya kebetulan semata. Apologize in advance jika terdapat typo, kesalahan pemilihan diksi, ejaan yang salah dan penulisan yang tak rapi. Bacaan ini dibuat untuk menghibur. And please do not copy my story without my permission. 

Backsound: Album Taylor Swift - 1989. Sam Smith - I'm Not the Only One. 

Just read and enjoy~

CHAPTER FOURTEEN – AS YOU WISH


JUSTIN MIGUEL THADDEUS


            "Oh, aku baru saja melakukannya," ucap Eleanor membuat senyumanku runtuh. Tangannya terlipat di depan dada, memberikan tatapan menantang padaku. Baiklah, aku lebih memilih menuruti permintaannya dibanding harus melihatnya berkuda dalam keadaan mengandung—terutama ia mengandung keturunan Thaddeus. Masih banyak cara agar aku mendapatkan kepuasan dari Eleanor, hanya saja ia belum mengetahuinya. Dengan sengaja, Eleanor menarik seluruh rambutnya dalam satu ikatan jarinya sehingga lehernya yang putih terpampang jelas. Aku menarik nafas tajam, berusaha menahan diri untuk tak menyentuh Eleanor sejengkal pun. Karena Tuhan tahu, aku akan hilang kendali bila menyentuhnya. Bahkan untuk kecupan ringan saat ini. Tangan Eleanor yang lain menyentuh tengkuknya lalu mengelus-elus kulit itu dengan pelan. Ini semakin menarik saja.

            "Jangan menggodaku seperti itu karena itu tidak akan berhasil." Aku sangat ingin menyentuhnya! Gigiku bergemeletuk menahan hasrat untuk tak ikut mengelus tengkuknya yang manis. Eleanor mengangkat pandangannya dengan tatapan nakal hingga aku menarik nafas tajam. Kukibas-kibaskan tanganku seperti mengusir lalat lalu berbalik memunggunginya. Eleanor terkekeh lalu kudengar ia bergerak di atas tempat tidur.

            "Aku ingin tidur. Selamat malam, pangeran Miguel." Aku mengangguk satu kali lalu berjalan menuju lilin-lilin yang masih menyala dan meniupnya hingga hanya cahaya bulan yang menerangi kamar Eleanor dari kaca jendela. Kakiku melangkah menuju pintu lalu membuka kuncinya. Sebelum aku menarik pintu, aku melirik Eleanor yang telah berada di balik selimut dengan mata terpejam. Mahluk terindah dan hanya milikku. Aku keluar, mendapati dua prajurit Eleanor menegang di bawah tatapanku.

            Aku hanya berjalan melewati mereka sambil berpikir apa yang harus kukatakan pada Abigail mengenai kepergiaannya. Aku berjalan melewati lorong ke lorong lain, sesekali mengangguk pada para pelayan yang membungkuk padaku. Hanya perlu melewati tiga lorong lagi, maka aku akan sampai di kamar Abigail. Dari kejauhan kudengar suara geraman seorang pria memaki-maki lalu bersumpah. Suara yang begitu familiar di telingaku, suara yang tak pernah kusukai dan pemilik suara itu sedang menyumpahiku.

"...sudah tidak ada begitu ia pulang nanti. Si bodoh Miguel tentu tidak tahu apa yang harus ia perbuat pada Cardwell. Ia harus disingkirkan beserta antek-anteknya—maksudku adik-adiknya." Ia berhenti sesaat, mendengus. Kemudian ia melanjutkan. "Lihat saja, suatu saat ia yang akan berlutut di hadapanku sementara aku menggerayangi adik perempuan kesayangannya itu." Si pemilik suara itu terdengar was-was dan khawatir. Lalu aku melangkah belok ke lorong sebelah kanan. Tepat ketika ia membalikkan tubuhnya, aku berhenti melangkah sembari menatapnya dengan tatapan ingin membunuh. Tanganku gatal ingin menusuk dua bola mata itu dengan pisau makan malam ditambah tusukan pedang di mulutnya. Wajahnya tiba-tiba pucat pasi, begitu juga bibirnya yang mulai berubah warna menjadi lebih putih. Aku percaya, ia pasti berpikir aku pulang subuh-subuh karena seja sore aku pergi ke pelabuhan untuk memeriksa masalah di sana. Salah satu kapal Cardwell mengalami kerusakan parah, aku sebagai orang nomor satu di Cardwell, tentu harus turun tangan. Clement tak berguna! Tampaknya ia tak menyukai kenyataan bahwa akulah yang akan menjadi raja selanjutnya. Bajingan kecil yang bodoh. Ayah pasti sudah mencuci otaknya agar mengagumi Ayahku melebihi Ayah mengagumi dirinya sendiri.

Beautiful SlaveWhere stories live. Discover now