93 Million Miles

32 4 0
                                    

Pagi yang cerah, udara lembut menerpaku yang sudah berpakaian lengkap, cahaya matahari langsung saja menyinari tanah luas yang diisikan oleh rerumputan hijau. Aku melihat sekelilingnya, suasana pagi hari yang seperti ini tidak akan pernah dapatkan di kota nanti.

Aku menghembuskan napas dan berbalik badan. "Ayah, Ibu, aku akan merindukan kalian di sana," ujarku sembari menyalami kedua telapak tangan ibu dan ayah.

Aku mulai berjalan menjauhi mereka, demi cita-cita dan impian, terpaksa meninggalkan mereka di desa itu. Walaupun sejauh apapun aku pergi, rumah adalah tempat terbaik untuk kembali.

93 juta mil jauhnya dari matahari. Karena kan terbit cahaya yang indah, di ufuk sana. Merasuk ke dalam mata kita. Oh, betapa indahnya

Aku teringat akan ibu. Dia menasehatiku, "Nak, kelak kau kan pergi jauh. Jika kau lakukan dengan benar, kau 'kan suka dimana pun kau berada. Ketahuilah, kemana pun kau pergi. Kau boleh senantiasa pulang."

240 mil jauhnya dari bulan. Jalan panjang kan kita tempuh sampai di sini. Tuk berbagi pemandangan malam ini. Malam yang angung. Jauh di ufuk sana.

Oh, aku teringat juga akan ayahku yang tak bisa dibantah. Dia menasehatiku, "Nak kadang memang terlihat gelap. Tapi tiadanya cahaya adalah bagian penting. Ketahuilah, kau tak pernah sendiri. Kau boleh senantiasa pulang, karena rumah adalah tempatmu kembali."

Tiap jalan adalah lereng yang licin. Tapi selalu ada tangan yang bisa kupegangi. Dengan melihat lebih dalam lewat teleskop. Bisa kulihat bahwa rumah ada di dalam diriku. Ya, sejauh apapun, berjuta-juta mil aku akan senantiasa kembali pulang.

Di perjalanan, pepohonan yang tinggi dan suara hewan jangkrik memenuhi indra pendengaran dan penglihatan. Semua yang ada di sini, akan s'lalu kuingat dalam ingatan.

Ada rasa tak rela ketika ku pergi ke kota, meninggalkan desa yang begitu asri. Namun, ibu dan ayah selalu menguatkan aku tuk berani melangkah maju menggapai cita-cita dan meneruskan harapan beliau. Ya, aku harus berani melangkah maju.

"Kau yakin pergi ke kota?" tanya paman Ed yang membawaku menuju kota yang besar.

"Aku yakin, Paman Ed," jawabku tegas. Oh, lucu sekali. Aku yang berusaha tuk berani, berpura-pura tegas di depan Paman Ed. Ya, ya, tertawalah.

"Paman tahu kau tak siap untuk ke kota. Kau tahu sendiri, Nak. Kota yang akan kau tuju adalah pusat kota negara kita, di sana banyak peraturan ketat yang akan kau jalani. Tidak seperti di desa, kau tak bebas melihat ufuk barat matahari."

Aku menyela, "Kenapa Paman Ed?"

"Karena di kota banyak gedung pencakar langit, menutup celah tuk melihat matahari terbit dan terbenam."

"Oh, baiklah, Paman Ed. Aku mengerti," ujarku kembali pada kegiatan sebelumnya, yaitu melihat jalanan yang tidak akan pernah kutemui di kota nanti.

240 mil jauhnya dari bulan. Jalan panjang kan kita tempuh sampai di sini. Tuk berbagi pemandangan malam ini. Malam yang angung. Jauh di ufuk sana.

Cakrawala telah dipenuhi warna jingga, senja pun t'lah tiba. Waktu yang sangat kunantikan. Lengkungan senyum 'tak pernah luput dari wajahku.

Tiba-tiba paman Ed menyela, "Brams, kau ingat. Jangan pernah mengeluh jika di sana kau tidak dapat melihat senja ini. Apa pun yang kau lihat di sini, tak akan pernah kau temukan di kota besar," pesan paman Ed.

"Baik, Paman."

£÷£÷£

"Hey! Kau melamum saja, apa yang kau pikirkan, Brams?"

Aku tersentak kaget, teman sekamarku di asrama membuyarkan lamunan tentang desa. Ah, aku merindukan ibu, ayah, dan paman Ed. Terutama, desaku yang indah dan penuh dengan warna.

Birds of a FeatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang