Sierrano

8 3 0
                                    

Sebuah bunyi ledakan memekakkan telinga dari gedung apartemen yang besar itu, membuat kerusuhan para warga di sekitarnya. Menurut warga sekitar, ledakan terjadi karena kesengajaan orang yang tidak memiliki perasaan.

Seorang anak kecil berusia 9 tahun menangis sesegukan di tepi jalanan, ia menundukkan kepalanya di atas kedua lutut yang dilipat. Orang-orang dewasa hanya sibuk membicarakan akibat dari ledakan tersebut dan ada juga yang berniat menolong korban ledakan bersama tim pemadam kebakaran.

"Mama ...," lirih anak kecil itu. Ia semakin ketakutan, merasa dirinya hanya seorang diri.

Sehingga, seorang lelaki muda mendekati anak kecil itu, ia pun duduk di sampingnya. Mengelus lembut rambut anak kecil itu, merasa kasihan dengannya. Anak kecil sendirian di tengah keramaian dan kericuhan atas ledakan itu, siapa yang tidak merasa kasihan?

Anak kecil itu mendongakkan kepalanya melihat sosok orang yang mengelus rambutnya. Ia segera menghapus air matanya dan dengan wajah bingung, ia pun bertanya, "Kakak siapa?"

"Hai, adek. Ikut kakak menjauh dari sini, yuk?" ajak lelaki itu sambil mengulurkan tangannya dan tak lupa dengan senyuman, tanpa menjawab pertanyaan yang keluar dari mulut gadis itu.

Anak kecil itu menganggukkan kepalanya, ia menerima uluran tangan lelaki tersebut dengan tangannya yang mungil. Sungguh genggaman yang pas di tangan lelaki tersebut.

Lelaki itu langsung menarik perlahan anak kecil itu untuk menjauh dari keramaian. Ia sungguh merasa tidak tega untuk membiarkan seorang anak kecil yang masa depannya masih panjang harus kehilangan hidupnya.

"Nama kamu siapa?" tanya lelaki itu setelah menjauh dari keramaian. Ia berjongkok agar menyamakan tinggi dengan anak kecil itu. Lelaki itu menghapus air mata yang terus mengalir di pipi anak itu dan tersenyum menenangkan.

"Namaku Sierrania Chavasla," jawab Sierra sambil menundukkan kepala.

Lelaki itu bertanya hati-hati, ia ingin mengetahui kenapa anak kecil itu sendirian di tepi jalan. Walaupun sebenarnya ia sudah tahu alasannya, tetapi tak salah untuk bertanya, bukan?

Sierra pun menjelaskannya, walaupun dia takut karena pergi dengan orang asing, dia melanggar perkataan ayahnya.

Mamanya tiada ketika ledakan itu terjadi. Saat itu Sierra dan sang mama akan pergi jalan-jalan, tetapi karena ada barang yang tertinggal, sang mama terpaksa mengambil ke dalam apartemennya. Namun, kejadian tak terduga tadi langsung terjadi begitu saja bagaikan kilat menyambar di langit.

Laki-laki itu menganggukkan kepalanya, ia sedikit mengerti dengan perkataan Sierra. Hatinya sedikit tersentil, anak kecil itu sekarang merasakan kehilangan kedua orang tua, sama seperti semasa kecil, tapi dia masih memiliki ayah hingga menginjakkan kaki di kelas 9 SMP dan itu sudah agak dewasa, bukan seperti anak kecil perempuan di depannya ini. "Jadi, ibumu tidak selamat pas kecelakaan itu, ya?"

Sierra menjawabnya dengan anggukan. Ia masih terisak atas kehilangan ibunya. Sang ayah sudah pergi ke pelukan Tuhan, sekarang sang ibu yang menyusul ayahnya. Sierra tidak memiliki saudara, ia anak tunggal dan dia pun tidak ada mengenali sepupu atau keluarga besarnya.

"Maaf, Kak. Kata ibu, aku nggak boleh pergi sama orang asing."

Laki-laki itu terkekeh, walaupun hatinya sedikit tersentil ketika Sierra mengatakan dirinya ialah orang asing. Ia tak habis pikir, cowok baik seperti dia dibilang 'orang asing', yang benar saja. Dia orang baik dan berniat ingin melindungi Sierra, si bocah yang telah kehilangan kedua orang tuanya. Memang benar, anak kecil itu sudah hilang ingatan secara permanen, tetapi masih bisa mengingatkannya dengan waktu yang sangat lama.

"Hei, Sierra. Kamu nggak ingat kakak lagi, ya?" Sierra hanya menggelengkan kepalanya. "Baiklah, nama kakak Serrano. Kamu biasanya memanggil kakak dengan nama kak Seno." Serrano mengelus pelan kepala Sierra.

Birds of a FeatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang