Part 14

77.7K 4.1K 12
                                    

Ali meringis kesakitan saat merasakan sebuah jarum menembus permukaan kulitnya. Sore itu, Ali membulatkan tekadnya untuk membuat sebuah tattoo yang bertuliskan PRILLY di dada sebelah kirinya. ditanya kenapa, saking cintanya Ali terhadap gadis mungil itu. Walaupun, status keduanya tidak jelas. Tidak ada ikatan pasti diantara Ali dan Prilly. Tapi bagi Ali pribadi, mencintai Prilly adalah sebuah anugerah yang Ali syukurkan. Baginya, mencintai Prilly membuatnya menjadi pribadi yang lebih baik.

"thanks bro." kata Ali sebelum meninggalkan tempatnya membuat tattoo tadi. Zian, mengacungkan kedua jempolnya. Kembali menggarap tattoo bentuk kepulauan indonesia di pahanya. Ali memegang dada kirinya. masih terasa ngilu.

"selamanya, lo yang ada di hati gue Prill. nggak ada yang bisa ngegantiin elo di sini." kata Ali pelan. kemudian, menaiki motornya dan melaju kembali ke rumah.

Dalam hati, Ali membatin. Ini sudah diluar batas. Melanggar peraturan apa yang sudah di tentukan oleh Tuhan-nya. Ali tidak bisa menahan lagi. Gadis itu terlalu penting baginya. Prilly layaknya boneka cantik yang harus dijaganya dengan baik. Gadis itu terlalu rapuh. Walau Ali tahu, luar Prilly memang kuat. Tapi tidak dengan hatinya. Ali paham betul. Melalui tattoo ini, Ali beranggapan bahwa Prilly akan selamanya bersamanya. Menghabiskan sisa-sisa waktu hidupnya, bersama gadis itu.

Ali memang sengaja memilih menorehkan tinta permanen tersebut di bagian dadanya. Baginya, Prilly akan selalu mengisi di setiap ruas-ruas hatinya. Hanya Prilly, yang di izinkannya menyentuh hatinya hingga bagian terdalam dari hatinya.

"dari mana aja?" tanya Prilly saat pemuda itu memasuki pekarangan rumah Prilly. Ali yang sedang sibuk memakai snapback-nya dalam posisi terbalik, mendongak. Prilly sudah duduk dengan manis di kursi santai pelataran terasnya. Ali tersenyum lebar. Menaiki dua undakan tangga menuju teras Prilly, dan duduk bersila dibawah Prilly.

"Urusan cowok." jawab Ali asal kemudian terkekeh geli melihat reaksi Prilly. reaksi yang Ali sudah hapal diluar kepala.

"kamu nggak abis berantem kan? nggak abis balapan liar? nggak abis ke club juga kan?" Ali benar-benar tertawa saat mendengar pertanyaan Prilly tadi. Benar-benar gadis itu.

"aku baru sampe di peluk kek, di cium kek, apa di kasih sambutan manis gitu. eh ini, malah di serbu sama tuduhan-tuduhan kamu yang nggak aku banget."

Prilly menoyor pelan kepala Ali. "itu mah kamu doang yang mau huuuuu. udah ah, serius abis dari mana?" tanya Prilly serius. Ali terdiam sebentar. menimang-nimang sesuatu.

Ali bimbang. Haruskah gadis itu tahu aksi nekatnya ini? atau biarkan hanya dirinya dan Tuhan yang tahu.

"heh, kok malah bengong?" Prilly membuyarkan lamunan Ali. Pemuda itu sedikit kaget.

"hah apa? oh ini..... abis nganterin Angga ke rumahnya Jo." Ali dengan cepat memberi alasan. Ali memutuskan untuk menyembunyikan perihal ini kepada Prilly. Hingga Prilly menemukannya sendiri.

Prilly menatap Ali dengan curiga. Namun akhirnya, hanya mengangkat kedua bahunya acuh. Ali menumpukkan kedua tangannya ke atas paha gadis itu, kemudian menopangkan dagunya disana.

"Aku baru sadar.... kamu tadi nanya aku abis dari club apa nggak kan?" tanya Ali. Prilly mengangguk, melepaskan snapback yang digunakan Ali, dan meletakkan barang tersebut di meja kecil di samping kursi.

"kamu yang bebel apa gimana sih? ini baru jam empat sore sayangggg, buat apa ke club se sore ini?" Ali terlalu gemas. Prilly hanya mengerucutkan bibirnya.

"ya siapa tau aja kamu abis terbang gitu." kata Prilly asal. tangannya mulai bermain dengan lincah di rambut Ali.

"ngasal. aku bukan tipe cowok kayak gitu kali Prill. aku udah janji sama diri aku sendiri, buat nggak nyentuh barang-barang kayak gitu. aku nggak mau ngecewain keluarga aku. nggak mau ngecewain kamu juga. sebrutal-brutalnya aku, aku masih berusaha buat nggak lari kesana." jelas Ali. Prilly termenung.

Harusnya, Prilly tahu Ali bukan pria semacam teman-temannya yang pergi pagi pulang pagi. Ali tidak terlalu nyaman dengan suasana yang terlalu berisik. hingar bingar club yang semakin malam semakin keras - yang menurut Ali sudah merusak gendang telinganya - tidak menarik perhatian pemuda tersebut. Baginya, menghamburkan uang dalam jumlah tidak sedikit hanya untuk satu botol wine, sama saja menumpuk dosa. Selain itu, Ali masih memikirkan banyaknya orang diluar sana, menjadi pengemis hanya untuk memenuhi kebutuhannya. Ali memang memiliki jiwa sosial yang tinggi. Tidak segan-segan untuk mengeluarkan uangnya hanya untuk kegiatan charity atau event-event yang berbau sosial lainnya.

Prilly tersenyum penuh haru. Ali pasti menepati janjinya. Ali bukan tipe yang suka menebar janji, tapi mengingkari janjinya sendiri.

"iya aku tau kok. eh, kamu mau minum apa? kayak biasanya?" tanya Prilly setelah tersadar dari lamunannya. Ali menggeleng.

"nanti aja gampang. aku ambil sendiri aja." jawab Ali. Pemuda itu meletakkan kepalanya ke pangkuan Prilly. masih ingin menikmati waktunya bersama Prilly. Baginya, waktu bersama Prilly adalah waktu yang paling berharga untuknya.

Prilly selalu spesial di matanya. Bagaimanapun penampilan gadis itu. Buktinya, hanya dengan menggunakan piyama ataupun pakaian rumahan, gadis itu tetap sama; cantik. tanpa make up sekalipun. Tingkahnya yang kadang seperti anak kecil, membuat Ali tidak bisa lama-lama berjauhan atau marah kepada Prilly. Rengekan manjanya yang selalu Ali suka, dan terkadang, Prilly menjadi lebih dewasa daripada Ali. Prilly jago masak. Ali selalu senang ketika menyantap hasil masakan gadis itu. Enak atau tidak enak, Ali tetap menyantapnya.

Suara decitan gerbang rumah Prilly membuat Ali menegakkan kepalanya. Mama Prilly tiba setelah pulang dari butik yang baru-baru ini dikelolanya. Lepas dari pekerjaan yang selama ini ditekuninya. Ali beringsut bangun, dan menyalami Mama Prilly.

"Eh Ali. Nemenin Prilly ya?" tanya Mama Prilly. Beliau memang benar-benar sudah menganggap Ali seperti anaknya sendiri.

"iya tante, tadi liat dari luar kayaknya sepi banget. terus main deh," jawab Ali. Mama Prilly tersenyum, lalu melepaskan sandalnya.

"Maaaa itu apa?" tanya Prilly sambil menunjuk bungkusan plastik yang dibawa sang Mama.

"ini?" Mama mengangkat bungkusan yang tadi di tentengnya. Prilly mengangguk.

"ini tadi Mama delivery pizza ke butik. buat dimakan sama-sama bareng karyawan. Kebetulan juga, tantemu tadi mampir kesana. yaudah, Mama delivery aja Pizza. masih sisa satu kotak, Mama bawa pulang buat dimakan di rumah." jawab Mama Prilly.

Prilly menatap Prilly dengan mata berbinar. Pizza. Makanan favoritnya.

"Prilly makan sekarang ya, Ma?" pinta Prilly. Mama mengangguk dan menyerahkan bungkusan tadi ke Prilly.

"Mama masuk dulu yaa. Ali kalo mau nginep sini juga nggak papa. Tadi Mama kamu ngabarin tante belum bisa pulang hari ini. mungkin minggu depan baru bisa pulang." kata Mama.

Ali mengangguk. "Oke tante!" Setelah itu Mama Prilly masuk ke dalam rumah. Ali kemudian melirik Prilly. gadis itu asik memakan pizzanya. jika dilihat dari potongan pizza yang berkurang, Prilly telah memakan tiga potong pizza. Ali tertawa kecil.

"Heh nona maniak pizza! asik banget makannya. makin chubby pipi kamu." goda Ali. Prilly hanya menjulurkan lidahnya, tidak peduli apa yang diucapkan Ali.

Ali berdecak, mendekat kearah Prilly dan memakan sisa Pizza yang akan dilahap oleh Prilly.

"Ali maahhhh." rengek Prilly. untuk urusan pizza, Prilly tidak menolerir lagi.

"enak juga. pantes kamu doyan, tambah chubby tuh pipinya cieeee," goda Ali sambil menarik kedua pipi Prilly.

Prilly membalas dengan menarik pipi Ali juga. Memang tidak se-chubby Prilly, tapi untuk ukuran cowok, cukup tembem.

"nyadar paaakkk, situ juga tembem kalii," Ali hanya bisa pasrah begitu Prilly memainkan kedua pipi-nya. Selagi Ali bisa melihat dan mempertahankan senyum serta tawa Prilly, tidak masalah. Bagaimanapun cara itu.

Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang