Part 28

73.2K 3.2K 14
                                    

"Aduh handphone gue mana lagi, ish." Sheila menggerutu sembari tangannya mencari-cari handphone-nya di dalam tas. Matanya sesekali melirik kearah depan, menghindari orang-orang yang berlalu lalang di hadapannya.

"Mana gue mau nelpon papa la-- ADUH," Sheila menjerit saat jidatnya membentur sesuatu.

"Astaga jidat gue sakitttt," ringis Sheila. Tangannya mengusap-usap jidatnya yang memerah. Gadis itu mendongak, seketika matanya membulat begitu mendapati seseorang yang tidak asing baginya, berdiri menjulang di hadapannya.

"Ck, elo lagi." Decaknya malas, sambil melipat kedua tangannya. Sheila menatap geram cowok itu.

"Heh, lo tanggung jawab kek udah nabrak gue, nih liat jidat gue merah gara-gara elo!" Sentak Sheila kesal. Cowok itu menatap Sheila datar.

"Cuma merah, kan? Nggak sampai berdarah?" Sheila memicingkan matanya kearah cowok itu.

"Lo itu... eeerghhhh udah sana awas gue mau pulang!" Sheila mendorong cowok tersebut menjauh dari hadapannya, dan berlalu dengan masih mengusap pelan jidatnya yang merah.

Tanpa disadari, cowok itu tersenyum tipis. "Selain nama lo bagus, sifat lo lucu juga ya?" Gumamnya, menggelengkan kepalanya pelan dan melanjutkan jalan menuju parkiran.

"Yaampuuunnnn jidat lo kenapa daa?" Pekik Saras saat Sheila duduk di sampingnya di meja kantin.

"Abis kebentur orang, kampret banget tuh pake gamau minta maaf segala!" Kata Sheila kesal sambil meminum air mineral yang dibelinya. Niatnya untuk pulang, tiba-tiba saja hilang. Mendadak malas untuk pulang ke rumah.

"Kebentur orang kok sampai merah gini?" Tanya Saras heran, Sheila mengangkat kedua bahunya acuh.

"Udah deh, gausah bahas jidat gue. Yang ada bikin gue emosi nih lama-lama," Sheila menutup kembali botol air mineralnya, lantas menatap Saras serius. "Ras,"

"Apaan?"

"Menurut lo, Ali tetep gue perjuangin sampai gue dapetin dia, atau gue biarin dia lepas aja?" Tanya Sheila yang sukses membuat Saras tersedak mie ayam yang sedang dimakannya. Saras buru-buru minum.

"Kenapa lo nanya gitu?" Saras bertanya balik. Sheila menghembuskan napasnya dengan berat.

"Ya karena gue rasa... semuanya bakalan sia-sia, gue nggak bakalan bisa dapetin Ali. Semuanya yang gue lakuin, nggak guna. Gue mau cari perhatian Ali, tapi Ali cuma mandang kearah Prilly aja. Gue nggak mau harga diri gue sebagai cewek bakalan rendah di mata cowok." Saras termenung mendengar perkataan Sheila. Baru kali ini, Sheila mau melepaskan sesuatu yang diinginkannya.

"Gue rasa emang gitu. Ini bukan salah Ali, kalau gue bilang ini salah lo. Lo ngejar-ngejar Ali, disaat Ali udah ada yang punya. Dan, Prilly udah kenal lama banget kan sama Ali? Ya wajar aja kalau akhirnya kayak gini. Sheil, lo nggak boleh maksain, sesuatu yang dipaksain, bakalan nggak baik diakhirnya. Lo harus dewasa! Dan apapun keputusan lo, gue hargai." Saras tersenyum lebar, Sheila diam. Meresapi kata-kata Saras.

Sheila memeluk Saras dengan erat, sudah menemukan titik terangnya. "Makasih ya, Ras. Gue udah tau gue harus ngapain," Saras balas memeluk Sheila dengan hangat.

"That's what friend are for, kan?" Sheila mengangguk. Ah, baru kali ini dia merasakan kebahagiaan memiliki seorang sahabat.

***

Prilly memandangi Ali yang sedang bermain basket di lapangan kompleks perumahan. Setiap pergerakan, setiap shooting-an Ali ke ring, Prilly menikmatinya. Sudah lama sekali, sejak masuk kuliah Ali hampir atau tidak pernah bermain basket lagi. Meskipun begitu, Ali tidak berubah. Permainannya sama saja, sama-sama bagus. Kulitnya yang putih, menjadi semakin menjadi-jadi saat berkeringat dan diterpa sinar matahari sore itu. Tubuh atletisnya, hanya dibalut oleh kaus putih yang semakin menonjolkan lekukan tubuhnya.

Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang