Part 15

73.5K 3.7K 9
                                    

Sheila melempar sendok makannya dengan asal. mood-nya memburuk begitu melihat postingan Ali di instagram. Foto Ali bersama Prilly. Sheila merasakan sesuatu yang panas menelusup kedalam hatinya. Sejak peetama ia bertemu Prilly, gadis itu dengan langsung mencatat nama Prilly kedalam list blacklist-nya. Terlebih, setelah Sheila tahu bahwa Prilly dekat dengan Ali.

Sosok pria yang membuatnya jatuh hati. Pria yang dianggapnya layak untuk menyandang sebagai status kekasihnya. Perkenalannya dengan Ali, sangat manis menurutnya. Ali tidak sengaja melemparkan bola basketnya kearah Sheila. Bola tersebut membentur kepala Sheila cukup keras, dan mengakibatkan gadis itu pingsan. Ali buru-buru menolong Sheila dan membawanya ke tribun lapangan basket indoor yang ada di kampusnya.

Ali memang tipe orang yang bertanggung jawab atas perbuatan dan ucapannya. Maka, ia menolong Sheila tidak lebih atas perbuatannya tadi.

"aduh," Sheila meringis kesakitan saat tersadar dari pingsannya. Saras, yang sedari tadi mengipasi Sheila, bernafas lega.

"sori, tadi gue nggak sengaja ngelempar lo pake bola gue." kata Ali saat Sheila duduk, dibantu dengan Saras.

"nggak... nggak papa. tadi gue juga nggak liat-liat kalo ada bola heheheh," ujar Sheila. sesekali meringis karena sakit dikepalanya belum juga hilang.

Tampaknya, Sheila belum terlalu mengamati wajah Ali. Buktinya, gadis itu masih sibuk dengan kepalanya yang terasa nyeri. Ali mengusap wajahnya dengan kasar. Andaikata Prilly ada disini sekarang, maka Prilly akan dengan cekatan mengobati Sheila.

"eh tunggu. Lo anak sekelas gue kan?" tanya Ali memastikan saat melihat wajah Sheila yang tidak lagi asing baginya. Sheila yang sedari tadi menunduk, megangkat wajahnya. lantas menatap Ali.

degh.

jantungnya berdetak dengan cepat saat melihat Ali. hidungnya mancung, bibirnya tipis, kulitnya putih, bulu matanya yang lentik, dan alisnya yang tebal mampu memikat hati Sheila.

lamunan Sheila terbuyar ketika mendengar suara dering handphone Ali. Pemuda itu buru-buru mengangkat telphone-nya. Senyum Ali merekah saat mendengar suara dari ujung telphone-nya. Sedangkan, Sheila semakin gila dibuatnya akibat melihat senyum Ali.

"Sheil? lo sehat kan?" tanya Saras heran. Sheila masih sibuk senyum-senyum. Namun, senyumnya menghilang begitu mendengar apa yang dibicarakan Ali.

"kamu kapan pulang? parah. kamu ngasih aku apaan sih? aku nggak betah jauh-jauh sama kamu." senyum Ali masih bertahan. Jika sudah mendengar suara Prilly-pun, mood nya seketika berubah. Bebannya seakan-akan hilang begitu saja.

"cieeee hahahahah ohhh sayang-nya aku udah bisa gombal nih sekarang?" Ali masih sibuk dengan telphone-nya. Tanpa sadar, berdiri dan meninggalkan gelanggang basket indoor kampusnya.

"Ali punya gue. siapapun yang ngedeketin dia, bakalan berurusan sama gue!" kata Sheila. Gadis itu menjadi geram. Saras hanya bisa pasrah.

Sheila Anastasia Wijaya. Anak tunggal dari pengusaha sukses dan pemilik dari Universitas tempat-nya kuliah sekarang. Anak tunggal menjadikannya anak yang manja. Segala permintaannya harus di turuti. Menyandang nama belakang Wijaya membuat semua orang, segan terhadapnya.

Pikiran Sheila buyar ketika sang Papa - Tama Wijaya - duduk di hadapannya. Tama baru saja pulang dari Prancis. Mengurus bisnisnya yang ada disana.

"Sheila kenapa? kok gitu mukanya? Apa kiriman uang dari Papa masih belum cukup? Kalo begitu, nanti Papa tambah dua puluh juta untuk uang kamu." kata Tama. Pria setengah abad tersebut mengambil nasi dan lauknya sambil mengamati putrinya.

"Sheila kesel sama orang kampus Sheila, Pa! Masa dia keganjenan sih sama orang yang Sheila suka? Padahal dia tau, Sheila naksir berat sama Ali." Sheila masih menggerutu. Mendengar nama Ali disebut, kegiatan Tama terhenti.

"Ali?" tanya Tama memastikan. Apakah memang Ali yang itu atau Ali yang lain.

"Iya, Ali. Ali Syarief." Tama mengangguk paham, dugaannya benar. Memang Ali yang itu.

"Papa kenal sama Papa Ali." jawab Tama, membuat Sheila kaget. Tidak menyangka.

"Demiapa Papa kenal?" tanya Sheila penasaran.

"Iya, Sidharta. Rekan bisnis Papa yang sukses sama seperti Papa. Papa sedang ada bisnis dengan perusahaan Sidharta. Sebenarnya, sudah lama kenal. Sejak Ali SMP. Dan memang, beliau pernah bercerita tentang Ali." cerita Tama.

"Om Sidharta cerita apa aja?" tanya Sheila cepat. Penasaran akan kepribadian Ali yang memang agak misterius di depannya.

"Ali anak yang baik. Jiwa sosialnya tinggi. Anak itu, punya bakat di seni. Calon penerus perusahaan Sidharta. Sidharta pernah bilang ke Papa, kalo Ali memang sangat dekat dengan sahabat kecilnya, Prill.... Prill..."

"Prilly." Sheila mengoreksi dengan malas.

"Iya Prilly. Ali sering menemani Prilly jika Prilly sendiri di rumah. Kadang menginap juga disana. Ali sangat mematuhi apa yang disuruh oleh orang tuanya. Namun menjadi pembangkang ketika menyangkut Prilly. Sidharta bilang, Ali terlalu sayang terhadap Prilly. Dan Sidharta memakluminya. Hanya Prilly yang tahu Ali persis, dibandingkan teman-temannya yang lain." Sheila dengan seksama mendengarkan cerita Papa-nya.

"jadi... kalo Sheila sama Ali, Papa setuju nggak?" tanya Sheila. Tama mengerutkan keningnya.

"Kamu suka sama Ali?" Sheila mengangguk dengan mantap. Tama menghela napas. Memang tertarik dengan Ali. Kepribadiannya berbanding terbalik dengan remaja seusianya.

"Ali sudah ada Prilly, sayang. Papa tidak mengajarimu untuk menjadi perusak hubungan orang." ujar Tama.

"Tapi Sheila maunya sama Ali, Nggak mau sama yang lain!" kata Sheila dengan suara yang agak keras. memecah keheningan yang tercipta setelah ucapan Tama tadi.

"Cinta tidak bisa dipaksakan sayang. Kamu cinta sama Ali, apa Ali juga cinta sama kamu? Papa nggak mau putri kesayangan Papa ini nanti sakit hati." Tama berusaha menghadapi Sheila yang manja ini.

"Nggak mau tau, pokoknya Sheila mau Ali jadi pacar Sheila. Kalo Papa nggak mau ngelakuin ini, Papa nggak sayang sama Sheila!" setelah berkata seperti itu, Sheila berlari meninggalkan Tama sendiri di Ruang Makan.

Tumbuh sebagai anak tunggal, dan sebagai anak yang Piatu, Sheila menjadi anak yang manja. Sang Mama, meninggal saat melahirkan Sheila. Membuat Tama, menjadi sangat memanjakan putrinya itu. Sheila memang tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Terkadang, Tama menyesali perbuatannya; memanjakan Sheila. Namun tuntutan pekerjaan yang memaksanya untuk meninggalkan Sheila sendiri di rumah, membuatnya memanjakan Putrinya.

"Aku tidak mau putriku merasakan apa yang aku rasakan dulu, Tuhan," lirih Tama.

Tama terdiam. Memikirkan apa yang harus dilakukannya. Mementingkan egonya, atau kebahagiaan putrinya. Tapi Tama yakin. Sheila hanya akan tersiksa jika memiliki hubungan dengan Ali. Karena Ali, hanya akan mencintai satu wanita dalam hidupnya. Dan itu bukan anaknya.

Tama menghela nafasnya. Keputusan yang berat. Pikirannya kembali ke delapan belas tahun yang lalu, saat istri yang amat sangat dicintainya itu, meninggal. Janjinya. Janji yang akan membahagiakan Sheila, apapun caranya.

"Semoga pilihanku tidak salah ya Tuhan..." gumam Tama.

***

yang mau saran sama kritik cerita aku boleh banget! :D

Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang