Ia kembali mengabaikan telfon itu. fokusnya kini pada seorang pasien yang baru saja selesai dioperasinya. Ia melepas sapu tangannya, lantas mencuci tangan.
"Al, keluarga pasien ingin bertemu denganmu." Ujar lelaki berkacamata itu. Al mengangguk.
"Baik, suruh mereka menunggu diruanganku!" Lelaki berkacamata itu beranjak dari tempatnya. Al menghela nafas, entah ini keberapa yang keberapa kalinya, yang jelas sudah banyak korban yang ditemukan, bahkan tak sedikit pula yang tewas. ia miris mendengar tangisan keluarga korban, hal itu membuat hatinya teriris. Mau bagaimanapun kematian itu qodarulloh, ia hanya bisa berusaha menyelamatkan nyawa- nyawa itu, urusan hasil ia tak biasa ikut campur.
"Al, mereka menunngumu." Lelaki tadi sudah berdiri lagi diambang pintu. Al mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata. Lelaki itu hanya menggeleng.
###
"Ananda Rais Umam Ahmad, Insya Allah kondisinya membaik setelah operasi, nanti bapak bisa menjenguknya di ruang rawat." Ujar Al. Bapak itu mengangguk.
"Terimakasih dokter, terimakasih telah menyelamatkan nyawa anak saya." Bapak itu menggenggam tangan Al.
"Tidak, saya hanya bisa berusaha, selanjutnya kita serahkan kesehatannya pada Allah, Maha penyembuh segala penyakit." Al mengukir senyum, berusaha menguatkan orang dihadapannya. Ia baru mengenal orang yang kerap dipanggil Pak Ahmad ini dua hari yang lalu, lebih tepatnya saat istri Pak Ahmad meninggal karena kacelakaan itu.
"Saya dan istri saya menyimpan banyak harapan pada Rais, anak kami satu- satunya. Kami menamainya demikian, karena kami ingin anak kami menjadi pemimpin kelak. Pemimpin yang menuntun kami ke jannahNya. Sekali lagi saya sangat berterimakasih dokter."
Al mengangguk. Ya Allah, betapa tulusnya hati orang tua ini, ia masih menyimpan harapan pada seorang anak yang tak bisa dikatakan normal.
Rais, anak yang usianya mungkin sama seperti sikembar yang baru masuk SMA itu harus kehilangan tangan kanannya. Tubuhnya pun tak lagi utuh, tapi ia sungguh beruntung memiliki seorang ayah seperti Pak Ahmad, ayah yang selalu mendampinginya disaat ibunya harus meninggalkannya. Orang yang selalu menyayanginya meski kehidupannya tak lagi seperti dulu.
"Saya hanya ingin Rais bisa mencapai mimpinya, jalnnya masih panjang."
"Sampaikan salam saya ke Rais ya Pak, semoga dia lekas sembuh." Al menyalami tangan kasar Pak Ahmad.
"Amin Ya Robbal Alamin. Kalau begitu saya pergi dulu, assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
###
Al termenung menatap langit yang sedikit berawan itu. Kalimat Pak Ahmad masih terngiang di telinganya. Ingatannya melayang saat putra- putri kecilnya itu lahir.
" Anak ini cantik seperti ibunya, bagaimana kalau kita beri nama Asma, agar ia menjadi wanita setangguh Asma." Al berseru senang dan hanya dibalas anggukan oleh Zia.
Ia tersenyum.
"Kak, anak kedua kembar, perempuan. Aku ingin menamai mereka Fathimah dan Ruqoyya, seperti nama Putri nabi Muhammad, bagaimana? Baguskan kak." Zia mengelus kepala dua bayi kembarnya.
"Bagus kok." Jawab Al datar. Zia menatapnya heran.
"Kenapa? Tidak suka ya Asma punya adik." Tanyanya.
"Bukan, bukan itu. Hanya saja aku ingin punya anak laki-laki. Dia pasti setampan ayahnya." Kata Al, Zia tertawa kecil.
kini air matanya menetes.
"Kata dokter anak kita laki- laki, cepet beri nama gih!" Zia menatap bayi mungil disampingnya. Al nampak berfikir.
"Kamu aja."
"Lah gimana sih?" Zia pura- pura cemberut. "Kan kamu yang minta."
"Hmm.. Kalau Albu gimana?"
"Bagus sih, tapi agak aneh, apa maknanya?"
"Albucasis, agr ia menjadi ilmuwan hebat seperti Al qosim."
"Boleh juga."
Ia menghapus air matanya. Kini giliran putri bungsunya, kelahiran yang cukup menekan kehidupannya.
"Dia cacat." Ujar Al pelan. Zia menghela nafas.
"Afra, Azafra, aku ingin memberikan nama itu." Zia menatap bayi mungil dalam kotak itu.
"Terserah kamu." Jawab Al, tubuhnya lemas. Orang tua mana yang ingin anaknya cacat? Semua orang tua pasti berharap anaknya terlahir normal.
"Al, " Panggil lelaki berkacamata itu. Al menoleh.
"Oh Farhan, ada apa Han?" Tanyanya. Lelaki berkacamata itu duduk disebelahnya.
"Apa tidak apa kalau seperti ini?" Farhan ikut menatap langit, Al menaikkan alis, tidak mengerti.
"Sudah empat hari kamu tidak pulang, apa anak- anak tidak mencarimu?" Al tersenyum itu sudah pasti. Farhan beralih menatapnya.
"Pulanglah! mereka pasti merindukanmu. Kamu juga perlu istirahat sesekali." Farhan berdiri. "Aku akan menggantikanmu."
"Terimakasih." Hanya kata itu yang sanggup terlontar dari mulutnya.
###
"Kasih sayang orang tua memang tiada tandingannya. Bahkan mereka banyak menyimpan harapan sejak anaknya lahir. Tanpa mereka, kita mungkin tak pernah ada. Setidaknya, berusahalah untuk membuat keduanya bahagia."
#DIFFERENT_02

KAMU SEDANG MEMBACA
DIFFERENT (Completed)
Short Story"Kata orang, mereka yang berbeda belum tentu istimewa, tapi mereka yang istimewa pasti berbeda." Kalimat itulah yang ia yakini dalam hatinya. Afra, bocah berumur hampir sembilan tahun, yang dulunya ceria kini menjadi serba pendiam. Ia hanya ingin se...