#5

3 1 0
                                    

Mobil itu tetap melaju melawan angin dan hujan. Namun, mereka menikmati ini. Android di sakunya berdering, ia langsung mengangkat telpon dari rekannya itu.

"Dimana Farhan? Dia katanya ambil alih." Terdengar balasan kekhawatiran dari ujung telpon.

"Saya lagi ambil cuti, hubungi saja dokter lain!"Ia menutup telpon. Afra mengamatinya. Zia memberi isyarat, ingin tahu.

"Ada pasien yang harus dioperasi. Farhan tadi sore keserempet mobil, tangan kanannya patah."

"Kenapa tidak kesana?" Tanya Zia, Al melirik anak-anaknya.

"Aku tidak mungkin melanggar janji." Afra menunduk mendengar jawaban ayahnya. Zia memegang bahu Al.

"Mereka pasti mengerti kondisinya, Yah." Al menunduk, ia mengangguk. Androidnya kembali berdering.

"Tunggu dua puluh menit! Aku akan kesana." Ia memutar arah. Namun baru lima menit berjalan hujan kembali mengguyur semakin deras.

"Sepertinya kita harus menepi." Suara Alqosim sayup-sayup tedengar diantara rintikan hujan.

"Tapi pasien itu tak bisa menunggu terlalu lama." Zia menggeleng.

Disaat susana mencekam, disaat itu pula tubuh Albu tak mampu menetralisir kerja setiap organ. Darah segar keluar dari mulutnya.

"Ayah Albu muntah darah!" Asma berteriak, mengadu suaranya dengan suara bising air hujan. Zia berbalik, mengurusi Albu dari tempatnya.

"Apa yang terjadi?" Tanya Al panik.

"Fokuslah menyetir!" Zia membentak

"Tapi..." Alqosim tetap ingin tahu. Zia menatapnya.

"Maaf tidak memberi tahu sebelumnya, Albu menderita kanker. Dan asal kau tahu, bahwa Albu dikeluarkan karena sekolah tak mau ambil risiko atas penyakitnya." Zia menunduk.

"Apa? Tapi tadi dia baik-baik saja. Dia bilang dia dikeluarkan karena berantem."

"Tapi apakah hanya berantem sekali, dia dikeluarkan? Tidak, itu tidak mungkin. Karena ia hanya adu mulut." Zia menyangkal. Android Al kembali berdering.

"Fokus menyetir saja!" zia berbalik. Al mengangkat telponnya.

"Maaf saya..."

"Ayah awas!!" jeritan Ruqoyya menyadarkannya. Ia memutar tuas kemudi, beralih dari sorotan lampu itu. Namun, sebuah pohon besar menunggunya, disisinya terdapat malaikat Izroil siap melaksanakan tugasnya.

"Ayaaah!"

Bruak..

                                                                                                 ###

Al tersadar, ia meraih androidnya yang telah tak berfungsi itu. Kepalanya pusing. Namun seluruh penyakitnya hilang melihat keluarganya yang tak lagi berdaya. Ia bangkit, memindahkan mereka satu persatu.

Air matanya menetes menyatu dengan tetesan hujan. Ia menggoyang tubuh mereka. Suaranya serak.

"Asma bangun!! Katanya kamu ingin menyelesaikan hafalanmu. Asma, kau anak yang tangguh, ayah yakin itu. Bangunlah sayang!"

"Fat, Fathimah! Ayah tidak akan marah, kamu boleh usil, tapi tolong jangan tinggalkan ayah!!" Tak ada respon, tak ada CO2 yang keluar dari hidung keduanya. Ia memeluk Ruqoyya.

"Ruqoyya, ayah janji akan belikan laptop, tapi ayah mohon bangun,Nak!" Al meletakkan jasad Ruqoyya. Ia beralih memegang tangan Zia.

"Ini semua salahku, maafkan aku! Aku lalai terhadap kalian."

Ia menggendong tubuh mungil Albu. Tangannya menyentuh darah dibaju Albu

"Maafkan ayah, ayah tidak tahu kalau pangeran ayah sakit. Ayah tidak pernah marah, meski pangeran menghancurkan harapan ayah." Ia mencium kening Albu, merapikan rambut berantakan sang pangeran.

Hening. Hanya kesunyian yang menyelimuti. Tak ada lagi keributan setiap pagi,gelak tawa sepanjang hari. Ia meraih robot mainan yang masih utuh itu. Robot yang selalu dibawa oleh Albu. Robot yang sangat berharga bagi Albu.

Albu berlarian kecil menuju ibunya, "Bu lihat! Robot ini bagus kan?"

Zia membelai rambut putranya. "Iya bagus, tapi dari siapa?"

"lho, bukan dari ibu ya? Albu pikir ini hadiah karena Albu rangking satu kemarin. Tadi ada di meja belajar Albu."

"Ibu nggak ngasih tuh. Mungkin dari ayah." Zia melempar senyum.

"Berarti robot ini adalah bukti kasih sayang ayah, disini ada cintanya ayah buat pangeran." Albu tersenyum lebar, Zia mengacak rambut pangerannya.

"Kalau ketemu ayah, bilang terimakasih ya ke ayah!"

"Siap bos." Albu hormat layaknya tentara, kemudian terkekeh pelan.

Al yang masih berdiri di depan rumah mendengar semuanya, ia tersenyum simpul. Senang bisa membuat putranya bahagia.

suara petir memekakkan telinga, Al tak sanggup lagi mengingat kenangan bersama mereka. Ia memukul tangannya ke tanah, berulang kali.

"Maafkan ayah! Maafkan ayah! Ayah tak bisa buat kalian bahagia..." Al menunduk, menangis dalam pelukan Albu. Penyesalannya tak berguna. Permintaan maafnya tak akan terdengar oleh mereka. Ah... Semunya sudah terlambat.

                                                                                      ###

"Bahagia itu sederhana, ketika melihat orang yang kita sayangi tersenyum akan membuat kita ikut tersenyum. Tapi mereka juga manusia biasa, ada waktunya mereka akan meninggalkan kita, dan ada waktunya pula kita meninggalkan mereka. Hanya kenangan itu, hanya kenangan itu yang tersisa.

#DIFFERENT_05

DIFFERENT (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang