R a n a n t h a

32.4K 1.4K 194
                                    


"Udah siap belum sih, Ran? Lama bener dah, bedaknya berlapis-lapis apa gimana?" Bang Banu masuk ke dalam kamar, saat melihatku dia bersedekap sambil berdecak. "Udah cantik gile, Ran. Itu rambut nggak perlulah digulung-gulung kayak angin tornado segala."

Aku mendengus, rambut cantik seperti ini katanya seperti gulungan angin tornado? Yang benar saja. Yah begitulah laki-laki yang tidak pernah melirik perempuan lain selain Milly, tetangga rumah yang model rambutnya itu-itu saja, bob pendek.

Sekali lagi aku melihat cermin, rambut lurus dan bergelombang di bawah tampak cantik kok, make-up juga tidak tebal mencolok, lebih tampak natural. Undershirt berwarna putih terbungkus set outer berwarna merah muda dipadukan dengan celana kulot yang warnanya senada terlihat cocok aku pakai. Sneaker putih membungkus kaki membuatku terlihat lebih santai dibandingkan jika harus memakai peep to shoes, high heels, atau wedge.

Bang Banu mengatakan, kondangan kali ini pakai pakaian sederhana saja. Jangan sampai terlihat mencolok, jangan menunjukan tanda-tanda yang bisa membuat salah paham. Contohnya tampil perfek untuk menunjukan bahwa Bang Banu jauh lebih WAH dibandingkan si pengantin laki-laki. Bang Banu memang bukan tukang caper.

"Yah, iya. Gue sih selalu cantik," aku meletakan catok rambut pada tempatnya.

Aku memutar tubuh untuk kemudian menyambar sling bag. Sejenak aku perhatikan penampilan Bang Banu, tidak mengecewakan. Tidak boleh mengecewakan sebab dia akan menggandengku ke pelaminan mantannya. Hm, mantan, korban pelampiasan.

Bang Banu memang sempat menjadi kejam, pacaran dengan perempuan lain hanya karena frustasi ingin melupakan Milly. Beruntung pacaran hanya beberapa bulan saja, mantannya itu cepat tanggap, tau jika Bang Banu menyukai perempuan lain.

"Ngomong-ngomong lo udah minta maaf sama mantan sesaat lo itu, apa belum?" Aku bertanya tanpa menghentikan langkah kaki, meninggalkan rumah dan masuk ke dalam Mamilly--nama mobil Bang Banu. Mobil sport hitam yang jantan sekali dia namai Mamilly. Baik, baiklah, maklum saja Bang Banu termasuk bucin akut. Kombinasi yang kurang pas sebenarnya, karena selain bucin Bang Banu gengsinya selangit.

"Udah, santai aja."

Aku menghela nafas lega, syukurlah kalau memang sudah minta maaf, aku tidak mau jika sampai Bang Banu kecipratan karma. Kalau bang Banu tidak kunjung kawinan sampai usia menjelang tua, otomatis orang tua akan mendesakku melangkahi Bang Banu. Yang seperti ini tidak bisa dibenarkan, aku enggan melangkahi Bang Banu.

Oh, sudah. Berhenti berpikir terlalu jauh. Bagaimanapun aku masih 18 tahun sedangkan Bang Banu 21 tahun.

Mobil melaju, membelah jalanan komplek yang sepi di pukul tujuh malam ini. Komplek memang selalu sepi, ramai hanya di pagi atau sore hari. Bukan diramaikan oleh para bujang, melainkan para kakek dan nenek lanjut usia.

Hotel tempat resepsi tidak terlalu jauh, 30 menit kami tempuh dengan kecepatan sedang. Saat melihat sang pengantin perempuan, aku cukup terkejut. Aku merapat pada Bang Banu, kemudian berbisik padanya dengan geraman tertahan.

"Bocah gemblung. Mantan lo janda anak satu, Bang?" Bisa aku lihat Bang Banu menganggukan kepala, tampak salah tingkah. Aku berdecak. Bisa-bisanya, Bang Banu keterlaluan. Janda beranak tidak mungkin mau main-main dalam suatu hubungan, pastilah menginginkan keseriusan. Dan Bang Banu menjadikannya sebagai pelampiasan? Cubitan maut aku layangkan pada perutnya, Bang Banu mengaduh tertahan sambil menarik tanganku dari perut kerasnya.

Meski begitu, aku penasaran. "Usianya berapa Bang?"

"Tiga puluh tahun."

Mendengar jawaban Bang Banu aku melotot, dahiku aku pukul beberapa kali.

RANANTHA (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang