PLAGUE 4 : BERTAHAN HIDUP

41 10 5
                                    

Seluruh dinding dingin hanya diam membisu
Menjadi saksi bersama cakrawala yang mengabu
Harapan hidup kini menjadi sebatas semu

***

Keriuhan yang terjadi di luar tidak membuat Freya dan Marwah berani untuk melangkahkan kaki keluar. Mereka berusaha tetap tenang menunggu bala bantuan datang. Mereka hanya berharap makhluk-makhluk itu tidak bisa mendobrak kamarnya.

“Sampai kapan kita berdiam diri di sini ya, Mar?” tanya Freya.

“Gak tahu. Mungkin sampai bantuan dari Umma datang,” jawab Marwah pasrah.

“Gue minta maaf sama lo, Mar. Gue punya banyak salah sama Marpuah. Maafin Song Hye Kyo ya,” ucap Freya meracau.

“Ha? Duh! Kuping gue agak nano-nano, rame teriakan. Gimana? Song Hye Kyo kenapa? Kenapa dia minta maaf sama gue? Kenapa bukan sama Song Joong Ki?” sahut Marwah. Rasa takutnya sedikit mereda karena lelucon dari Freya.

“Nih! Song Hye Kyo,” ucap Freya sembari menunjuk dirinya.

“Ahahahaha. Kok Song Hye Kyo kesannya jadi lokal banget gini? Ngomongnya pake lo-gue lagi,” ledek Marwah.

“Iya. Kyo frustasi gara-gara Joong Ki.” Freya mengerucutkan bibirnya seolah-olah dirinya memang Song Hye Kyo.

“Nah! Ini nih! Definisi otak yang gak sampai dengkul. Ahahahaha.” Marwah tertawa lepas melihat kegilaan Freya.

BRAK! BRAK!

Marwah terkesiap dan langsung mendekat ke arah Freya. Bunyi itu mereka dengar bukan dari arah pintu, melainkan jendela di belakang mereka. Mereka saling melempar pandangan. Perlahan Freya berdiri dan berusaha mendekati jendela itu dengan hati-hati. Kaca jendela masih tertutup tirai, hal itu membuat mereka tidak tahu apa dan siapa yang menimbulkan suara tersebut.

Ada sedikit keraguan dalam hati Freya untuk mendekat ke arah tirai. Gadis itu kembali ke posisi semula dan mencari barang apapun yang dapat dijadikannya senjata. Dibukanya kembali koper miliknya. Tidak ada barang apapun, mengingat tujuan mereka ke pulau itu adalah berlibur, bukan berperang.

Tidak lama kemudian, tiba-tiba Freya ingat bahwa dia membawa sebuah payung lipat untuk berjaga-jaga apabila hujan datang. Dikeluarkannya benda tersebut dari bagian dasar koper dan dia tutup kembali. Perlahan dan berusaha tidak menimbulkan suara, ditariknya pegangan payung tersebut tanpa membuka payungnya. Freya menaruh telunjuk di depan bibirnya, mengisyaratkan agar Marwah tetap diam.

Marwah berjalan perlahan mendekati Freya. Hatinya berdegup karena takut pikiran-pikiran buruknya menjadi kenyataan. Gadis itu memperhatikan langkah Freya. Tidak lama kemudian, Freya kembali mengisyaratkannya untuk merapat ke tembok dan jangan bergerak. Dibukanya sedikit tirai yang tertutup itu. Namun, Freya kembali melangkah ke arah Marwah dengan perlahan.

“Kenapa?” bisik Marwah.

“Sepertinya kita gak bisa pergi. Di balkon ada dua zombie,” ucap Freya ikut berbisik.

“Ha? Kok bisa nemplok di situ? Gimana caranya?” tanya Marwah. Alisnya berkerut tanda tidak paham.

“Mereka saling bahu-membahu kayaknya deh. Pfftt,” sahut Freya menahan geli. Gadis itu membayangkan dua mayat hidup memiliki toleransi dengan sesamanya.

“Sstt! Mulutnya ya! Jangan bar-bar dong, Frey!” seru Marwah dengan suara yang masih sedikit berbisik.

Freya mengangkat bahunya. Dia hanya berusaha untuk membuat keadaan menjadi menyenangkan meskipun kenyataannya tidak begitu. Mereka kembali duduk, berdiam diri dan saling menjaga satu sama lain. Malam itu, cacing di perut mereka masih terasa tenang. Tidak tahu apa yang akan terjadi keesokan paginya. Mereka tidak punya cadangan makanan sama sekali dan hanya mengandalkan minimarket dan restoran hotel.

Hening. Tidak ada satu pun dari kedua gadis itu yang membuka suara. Mata mereka terlalu berat untuk tetap terjaga. Freya sudah menguap beberapa kali dalam dua menit. Sedangkan, Marwah memegangi matanya agar tidak terlelap. Namun, rasa kantuk mereka lebih besar. Tidak lama kemudian, mereka tertidur dengan posisi menyandar pada pinggiran kasur.

***

Geudaereul barabol ttaemyeon ….

BRAK!

Marwah terkejut mendengar ponselnya berbunyi diikuti gedoran jendela balkon. Dilihatnya Freya yang ikut terbangun dengan kondisi masih setengah sadar sembari mengucek kedua matanya. Pandangannya beralih ke arah ponsel yang memunculkan tulisan “Umma”. Perasaan gembira memenuhi diri Marwah. Segera diangkatnya panggilan itu dengan harapan mereka dapat keluar dari pulau ini secepatnya.

“Marwah! Kamu sama Freya di mana? Umma telepon kamu berkali-kali. Umma takut kalian kenapa-kenapa,” ucap ibunya dengan nada yang sedikit tinggi.

“Marwah sama Freya masih di hotel, Umma. Kita gak bisa keluar. Mereka ada di mana-mana. Bahkan ada di balkon kita. Makanya suara Marwah bisik-bisik gini. Bantuan dari Umma mana? Kita takut, Umma,” ucap Marwah panjang lebar.

“Kamu di kamar nomor berapa? Kenapa waktu ada pemberitahuan arah kalian tidak keluar?” tanya ibu Marwah.

“Ha? Pemberitahuan? Maksud, Umma?” tanya Marwah tidak mengerti.

“Astaghfirullah. Tadi Umma diberi laporan, mereka membuat pengumuman jalur evakuasi bagi yang selamat. Kalian tidak dengar?” ucap ibunya.  Mendengar itu, Marwah langsung melihat arloji yang ada di tangan kirinya. Jarum jam menunjukkan pukul empat pagi. Marwah menepuk jidatnya. Bisa-bisanya mereka tidur lama sekali. Untung saja mayat-mayat hidup itu tidak memangsa mereka.

“Nak? Kamu gak papa?” tanya ibunya dengan nada khawatir.

“Nggak, Umma. Kita tadi ketiduran. Makanya gak tahu kalau ada informasi,” jelas Marwah.

“Ya Allah, Nak. Kamu di kamar nomor berapa?” tanya ibunya lagi.

“Nomor 2012, Umma,” jawab Marwah.

“Wira! Kamar nomor 2012 ada di mana?” ucap ibunya pada seseorang di sana.

“Ada di lantai 2 gedung barat, Bu,” jawab Wira.

“Cepatlah! Anakku dan temannya di sana. Dia tidak dapat ke mana-mana,” sahut ibunya.

“Mohon maaf sebelumnya, Bu Maryam. Kami kehilangan kontak dengan petugas yang dikirim ke gedung barat. Hanya petugas gedung timur yang masih aktif,” ucap Wira.

“Lalu? Kalian tidak akan menyelamatkan anakku? Perlu kamu tahu, aku termasuk pemegang saham yang berpengaruh di hotel itu. Jadi, lakukan semua dengan baik,” ucap Bu Maryam dengan nada dingin.

Marwah mendengar seluruh percakapan mereka berdua karena panggilannya belum dimatikan. Freya mengangkat dagunya seolah bertanya 'ada apa?’. Sedangkan, Marwah hanya bisa menggelengkan kepala tanda tidak tahu. Ibunya dan orang bernama Wira itu sedang memperdebatkan sesuatu yang tidak dia mengerti kecuali tentang penyelamatan dirinya dan Freya.

Freya beranjak perlahan dari tempatnya. Diraihlah payung yang tadi akan dia gunakan untuk senjata sementara. Gadis itu kembali melangkah ke arah jendela sembari memperhatikan Marwah dari kejauhan. Diintipnya sedikit melalui celah kecil tirai. Mayat hidup itu masih mondar-mandir seperti orang buta. Apa dia tidak merasakan ada orang di ruangan ini? Batin Freya.

“Mar. Selama tidak ada yang mengganggu. Setidaknya kita bisa hidup hanya dengan berdiam diri di sini. Mereka bahkan tidak tahu ada mangsa yang sangat dekat dengan mereka. Dinding atau apapun itu mungkin bisa menolong kita,” ucap Freya.

***

Uwaaa. Maaf banget semuanyaa. Plague sangaatt terlambat update dikarenakan author sedang ada urusan yang sangat penting sehingga belum bisa meneruskan cerita Freya dan Marwah.

Tapi jangan khawatir, author akan berusaha semaksimal mungkin untuk kalian.

Tetap tunggu chapter selanjutnya yaaa.
See you next! ^•^

PLAGUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang