PLAGUE 1 : LIBURAN

96 21 10
                                    

Siapa yang tidak menyukai hari libur? Sepertinya semua orang suka. Tak terkecuali Freya Fanyka, seorang gadis yang terdaftar sebagai mahasiswi semester dua di sebuah universitas ternama Kota Jakarta. Dia sangat antusias mendengar kabar gembira ini. Libur semester adalah hal terbaik sepanjang masa. Itulah pikiran konyol Freya yang mulai kambuh kembali setelah sekian lama tersegel rapat di dalam otaknya.

“HEI, MARPUAH!” teriak Freya. Dilambaikan tangan kanannya pada gadis yang sedang merapikan buku catatan dengan terburu-buru.

“Apa sih, Frey! Nama gue Marwah! Lagian aneh, deh. Cuma jarak dua bangku doang, teriaknya udah kayak gue di parkiran aja,” gerutu Marwah mendengar teriakan kencang Freya. Gadis itu merupakan sahabat baik Freya semenjak duduk di bangku sekolah dasar.

“Ke Bali, yuk!” ucap Freya tanpa memedulikan wajah cemberut Marwah.

“Astaghfirullah! Ngajak ke Bali kayak ngajak ke stadion,” ucap Marwah mengelus dada. Gadis itu masih terheran-heran dengan sifat Freya. Suka sekali menghabiskan uang hanya untuk foya-foya.

“Gue bayarin. Marpuah terima beres pokoknya. Ok?” tawar Freya sedikit memaksa. Lagipula dia tahu, sahabat baiknya ini tidak akan menolaknya.

Marwah menghela napas dan akhirnya menganggukkan kepalanya, tanda bahwa dia setuju. Alis Freya naik-turun. Sudut bibirnya tertarik ke atas hingga membentuk lengkungan lebar. Kalau sudah seperti itu, Freya pasti merasa bahagia. Marwah menepuk jidatnya pelan. Dia sudah hafal sekali dengan tingkah laku Freya.

“Kita berangkat kapan, Frey?” tanya Marwah sembari berjalan keluar kelas.

“Besok,” ucap Freya di sampingnya enteng.

Seketika Marwah menoleh ke arah Freya, “Lah? Gila apa?”

“Siapa?” Freya menoleh ke kanan dan ke kiri dengan wajah innocentnya.

“Astaghfirullah. Begonya luar biasa. Kok betah aku temenan sama dia,” ucap Marwah pelan dan langsung pergi meninggalkan Freya yang masih mencari si 'orang gila' tersebut.

***

Keesokan paginya, Marwah menyiapkan segala keperluan yang harus dibawa. Izin liburan yang dia utarakan kemarin malam langsung mendapat persetujuan dari kedua orangtua Marwah. Dengan syarat, tidak ada kaum adam di antara mereka. Marwah menganggap syarat itu terlalu ringan untuknya. Mana pernah aku keluar dengan pria, palingan cuma sama Freya, katanya semalam.

Penerbangan mereka dijadwalkan pukul 10.00 WIB. Merasa jadwalnya masih lama, Marwah mengambil sebuah novel untuk dibaca. Genre yang ada di rak buku Marwah mayoritas thriller atau horor. Menurut Marwah, ada rasa deg-degan saat membacanya. Apa yang akan terjadi selanjutnya benar-benar di luar ekspektasi. Bahkan, para penulis itu bisa memosisikan diri sendiri sebagai tersangka.

Tok! Tok! Tok!

“Permisi, Non Marwah,” panggil seseorang dari balik pintu.

“Ah? Iya, Bi Yah?” sahut Marwah sedikit kaget.

“Ini, Non. Di bawah ada Non Freya. Bibi disuruh Ibu untuk manggil Non Marwah,” jelas asisten rumah tangga Marwah.

“Oke, Bi. Tolong bilang untuk tunggu sebentar ya. Marwah mau ambil koper sama tas dulu,” sahut Marwah.

Gadis itu langsung meletakkan kembali novel yang dia baca ke dalam jejeran buku-buku di rak putihnya. Novel itu membuat hatinya berdegup. Perasaannya mendadak tidak enak. Namun, hal itu tidak dipedulikan oleh Marwah. Dia merasa segugup itu, mungkin karena sebentar lagi dia akan naik pesawat. Marwah agak bermasalah dengan turbulensi yang terjadi saat penerbangan.

Tidak lama kemudian, Marwah keluar sembari menyeret koper berwarna dusty pink menggunakan tangan kanannya. Gaya berpakaian Marwah pun cukup sporty. Atasan hitam bermodel crop tee ditambah bawahan jeans yang senada, dipadu-padankan dengan cardigan berwarna maroon, topi hingga sneakers berwarna serupa. Tidak lupa tas ransel yang berisi barang-barang darurat.

Freya yang melihat Marwah menuruni anak tangga refleks melambaikan tangan padanya. Outfit Freya juga tidak kalah modis dengan Marwah. Bedanya, Freya lebih simpel. Dia hanya menggunakan jumpsuit lengan pendek bernuansa shabby ditambah sneakers putih bertengger di kedua kakinya. Rambut sebahunya dikepang menjadi dua. Hal itu membuat Freya semakin terlihat imut.

“Halo, Perfeksionis!” sapa Freya ngawur.

“Hai, Troublemaker!” jawab Marwah yang tidak mau kalah.

Orangtua Marwah hanya tertawa geli, melihat kelakuan kedua gadis itu. Sejak kecil, mereka memang sering adu mulut. Namun, tidak ada sekalipun dari mereka yang merasa marah atau dendam. Mereka bahkan bisa bermain bersama seolah-olah lupa bahwa mereka pernah bertengkar sebelumnya. Daya banting persahabatan mereka sudah diakui oleh banyak orang, tidak terkecuali para orangtua.

“Mah. Marwah berangkat ya? Assalamu’alaikum,” pamit Marwah sembari mencium tangan ibunya.

“Iya. Hati-hati ya, Nak,” jawab ibunya, Anna, sembari mengelus surai hitam Marwah dan mencium kedua pipinya.

“Dede juga pamit ya, Mah. Salam buat papah,” ucap Freya sembari mencium tangan Anna.

“Hm, bagus! Itu mak siapa? Seenaknya manggil 'Mah'. Lagian gue gak mau punya adek macam elu. Jijik gue,” celoteh Marwah. Sedangkan, Freya hanya terkekeh pelan.

Terkadang tingkah laku Freya membuat Marwah gemas. Sesekali Marwah ingin menjitak kepalanya dengan kencang. Namun, dia ingat karma yang masih berlaku di dunia ini.

Setelah berpamitan, mereka segera pergi ke bandara menggunakan taksi online. Perjalanan hanya ditempuh dalam waktu tiga puluh menit dan waktu penerbangan masih ada satu jam lagi. Mereka langsung melakukan pengecekan tiket penerbangan dan menuju ruang tunggu setelahnya. Freya pergi ke foodcourt terlebih dahulu untuk membeli makanan.

“Frey. Perasaan gue kok gak enak ya? Masa iya baper cuma gara-gara novel? Rasanya gak mungkin deh. Biasanya juga gak gini,” ucap Marwah setelah Freya datang membawa makanan untuk mereka berdua.

“Ih, jangan mikir macem-macem lah. Kita mau perjalanan jauh nih,” sahut Freya sembari memasukkan sebuah roti ke dalam mulutnya.

Freya memerhatikan gerak-gerik Marwah. Sahabat kecilnya ini memiliki watak yang tenang. Meskipun ada temannya yang bertengkar hebat, dia selalu santai sembari berkata “Hidup dan mati di tangan Tuhan. Gue gak tahu, siapa dulu dari kalian yang mati.” Namun, hari ini Marwah aneh, dia terlihat cemas. Bahkan, roti di tangannya tidak kunjung dimakan.

Penerbangan sudah diumumkan. Freya dan Marwah berjalan ke arah yang diinstruksikan. Dilihatnya langit biru nan cerah, diikuti sinar mentari yang menghangatkan tubuh. Angin sepoi-sepoi membuat rambut indah Freya dan Marwah berkibar. Warna rambut mereka memiliki perbedaan yang mencolok. Milik Freya berwarna cokelat, sedangkan Marwah hitam.

Perjalanan Jakarta-Bali membutuhkan waktu kisaran tiga jam saja. Kini, mereka sampai di Bandara Ngurah Rai Denpasar. Rasa cemas yang mereka alami sebelumnya mendadak hilang dan tergantikan oleh rasa antusias luar biasa.

“Wah! Yeppeuda!” seru Marwah.

Welcome to Bali! Yeay!” teriak Freya.

Dalam sekejap, mereka hanyut dalam perasaan bahagia yang membuncah. Mereka segera mengemasi barang bawaan dan bersiap keluar menuju penginapan. Freya memilih penginapan yang dekat dengan pantai agar satu minggu ke depan mereka tidak bosan. Suasana pantai dapat terlihat langsung dari jendela kamarnya. Sangat indah. Mereka sudah tidak sabar untuk mengelilingi pulau ini.

***

Author notes :
- Yeppeuda : Cantik/Indah

***

Halo, Sobat Fanta!

Ketemu lagi nih sama part selanjutnya dari Plague. Gimana menurut kalian? Kurang greget kah? Atau gemes sama kelakuan Freya? Hehe.

Masih penasaran gak sama cerita mereka di Bali? Yuk, ditunggu next partnya di minggu depan! Hehe.

Silakan vote and comment kalau kalian suka.
Dan jangan lupa mampir ke akun author di Acrysta_

See you next part,
Bubyee ^•^

PLAGUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang