Sebuah Pengakuan

1K 14 2
                                    

[Rizki Pramudya]

"Eh, Riska sayang," sambutnya diiringi senyum simpul. Nampak wajahnya sangat merona, matanya menatapku penuh nafsu.

"Ih ... Udah kubilang jangan panggil Riska! Panggil nama asliku, Rizki!" ketusku sembari menutup pintu. Aku langsung menghampirinya dan duduk di kasur.

"Hehehe ... Masa udah cantik kayak gini namanya Rizki, sih. Riska udah paling cocok sama wajah cantik kamu, atau Siska juga bagus, hehehe," ujarnya dengan nada genit. Sesekali ia mengedipkan matanya dan memasang wajah yang cute.

Pak Yugo memang sudah cukup berumur, mungkin sekarang dia berusia empat puluh tahunan lebih. Tapi wajahnya babyface, dia masih terlihat sangat tampan dan kelihatan awet muda. Kulitnya putih bersih, matanya hitam kecoklatan. Hidungnya cukup mancung, tubuhnya juga sixpack meskipun agak gempal. Ah sudahlah, ngapain juga aku muji-muji gadun brengsek itu.

Selain menjadi pejabat, dia seorang selebgram, juga artis tiktok. Kami saling follow ig sejak pertama dia meminta mami agar aku menemaninya. Dia yang pertama meminta username Instagramku dan langsung mengikutinya. Dia memintaku untuk mengikutinya balik. Awalnya aku tak mau, tapi, mau gimana lagi? Aku harus menuruti semua keinginannya. Akhirnya aku mangut saja, dan saat kulihat, ternyata pengikutnya di instagram sudah mencapai sembilan ratus ribu lebih. Bahkan akunnya sudah mendapat centang biru.

Pak Yugo menarik tubuhku agar lebih dekat dengannya. Setelah aku duduk tepat di sampingnya, dia merangkul bahuku. Dia menarik kepalaku agar bersandar di bahunya. Jujur, rasanya memang nyaman, tapi tetap saja aku selalu risih saat tangannya mulai menggerayangi tubuhku.

Dia mulai meremas-remas dada bidangku. Meskipun aku mengenakan gaun perempuan, tapi aku tidak menggunakan BH atau semacamnya sehingga dia dengan leluasa menguasai bagian tubuhku yang bidang itu. Sesekali Pak Yugo menciumi rambutku, lebih tepatnya rambut palsu yang kukenakan.

"Gimana sayang, kamu sudah siap untuk malam ini?" tanyanya sambil menoleh ke arahku.

Akupun menoleh ke arahnya sehingga kami saling bertatapan. "Ya, mau gimana lagi? Sebenernya aku gak mau, tapi kamu tahu sendiri, kan, kalau aku tidak bisa menolakmu. Kalo aku nolak, nanti kamu ngomong yang macam-macam sama mami Gabriel," jawabku dengan nada lesu, wajahku pun tak menunjukkan ekspresi bahagia, yang ada hanya tatapan sayu yang kulempar ke arahnya.

"Jangan gitu dong ... Kamu jangan membuat aku merasa bersalah." Pak Yugo memasang wajah yang cemberut.

"Eh, dari awal kamu emang udah salah, kali. Harusnya kamu booking cewek-cewek seksi yang ada di luar, pasti kamu lebih puas. Ini malah nyuruh mami Gabriel maksa aku buat ngelayanin kamu," balasku ketus.

Dia memang wajah kesal ke arahku. "Ki, kan udah aku bilang. Aku gak mau jadi orang yang ikut andil dalam ngerusak moral para perempuan malam itu."

"Hallo ... Pak Yugo Arditastungkoro! Moral mereka tuh udah rusak, kali. Kalo moral mereka belum rusak, mereka gak bakalan ada di sini, tapi di masjid tuh, pada pengajian semua! Lagian, emang dengan bapak ngebooking saya, apa itu gak merusak moral saya?" Aku mengambil posisi duduk bersila di sampingnya.

"Tapi aku gak mau ngerusak kehidupan mereka, Ki," jawabnya sambil menatap kosong ke arah depan.

"Anda sadar gak sih? Anda bilang, anda tidak mau merusak kehidupan mereka, tapi anda sudah merusak kehidupan saya!" Nada bicaraku sedikit meninggi. Aku kesal dengan pernyataannya.

"Ya, enggaklah," balasnya tanpa rasa bersalah.

"Hah. Kenapa anda enggak merasa bersalah?"

"Ya, karena kamu sendiri, kan yang udah milih jalan hidup kamu buat jadi seperti ini." Pak Yugo memasang wajah arogan.

I'm Not a LadyboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang