Nayla Dennara.
Pukul sebelas siang, gue di antar pulang dengan selamat sampai tujuan oleh laki-laki yang katanya bernama Nicko. Dengan begitu, hampir empat jam lamanya gue di ajak berkeliling ke berbagai sudut Bandung. Cukup puas, dan gue pun sangat berterimakasih pada laki-laki berambut keriting itu karena dengan suka rela menawarkan gue untuk menaiki motor bersama dan menikmati suasana Bandung.
Jujur, gue suka dengan caranya berkenalan. Karena dari sifatnya, laki-laki yang katanya asli Bandung itu cukup menarik perhatian gue. Sejak pertama kali bertemu, dimulai dari mukanya, Nicko berbeda dari lelaki pada umumnya. Rambut keritingnya membuat gue selalu teringat. Plester luka yang pernah diberikan ke gue, itu menandakan bahwa dia tidak peduli dengan orang asing sekalipun. Ceria dan tidak pernah menunjukkan kesedihan. Gue yakin, pasti hidupnya selalu dengan canda tawa dan penuh kasih sayang. Tidak seperti gue, dapat pertanyaan 'kamu sudah makan belum?' sekali pun sepertinya tidak pernah. Apalagi dapat elusan puncak kepala dan kecupan. Jika memang iya, mungkin dunia akan kiamat detik itu juga.
Bagi gue, memiliki orang tua sama saja seperti anak yatim piatu. Tidak pernah diperhatikan, banyak sekali perdebatan, selalu dengan amarah, dan kata akur tidak ada di kamus keluarga milik gue ini. Terkadang, gue suka iri dengan orang-orang yang memiliki keluarga harmonis. Percaya satu sama lain dan tidak ada kecurigaan. Banyak kasih sayang, penuh perhatian, tidak haus tersenyum, dan selalu meluangkan waktu untuk berkumpul.
Gue? Tidak pernah merasakan itu semua.
Keluarga gue sudah dapat dikatakan hancur. Papa yang jarang menampakkan muka. Mama yang selalu sibuk dengan urusannya. Dan gue? Selalu di anggurkan seperti tidak diharapkan hidup sebagai anaknya. Jika gue memikirkannya, itu hanya membuat gue gila. Cukup rasakan dan terima apa adanya. Karena gue percaya, bahwa Tuhan punya rencana yang lebih baik dibalik kehancuran ini.
Pada Bandung, gue selalu dibuat terpesona olehnya. Dimulai dari keramahannya, atau dengan cantik parasnya. Masalah yang tidak pernah ada ujungnya itu seketika hilang terbawa angin kota ini. Kesejukannya juga sampai tembus untuk dirasakan pada hati dan pikiran. Tenang, dan tidak ada beban sedikitpun yang bertumpuk pada bahu lemah gue. Kaki gue seakan kuat untuk terus melangkah melaju ke masa depan yang akan datang. Rasanya, gue ingin saja tinggal di kota ini. Jauh dari papa dan mama, jauh dari masalah, jauh dari kesedihan yang sangat gue benci.
Setiap gue kesini, sasaran untuk tempat istirahat adalah rumah Tante. Salah satu adik dari papa yang sudah lama tinggal di Bandung. Namanya Tante Mika, alasan dia tinggal di sini karena ikut dengan suami. Om Dirga namanya, dia asli Bandung. Mereka baik, sangat berbeda dari sifat papa. Makanya gue suka kalau ke sini. Selain ingin pergi dari masalah, gue juga rindu dengan Om dan Tante disini. Perhatian dan peduli walaupun gue hanya sebagai keponakannya. Maka dari itu, gue lebih betah disini dari pada di Bekasi.
Keluar Nay, gue udah di depan rumah.
Gue terkejut pada saat dapat pesan seperti itu. Pasalnya ini sudah jam sepuluh malam, mengingat orang-orang sudah pada terlelap dengan alam bawah sadarnya.
Sesegera mungkin gue beranjak dari ranjang, lalu keluar untuk memastikan bahwa dia beneran ada atau tidak. Tapi gue tidak langsung keluar dari gerbang, lebih memilih untuk mengintipnya terlebih dahulu. Mata gue menyusur ke kanan dan kiri, tapi tidak ada sosok satu pun yang terlihat.
Sialan, kalo begini gue dikerjain namanya.
Songong banget, kalau gini mending gue tidak perlu keluar sambil ngendap-ngendap soalnya takut ketahuan oleh Om dan Tante.
"DWARRR."
Sumpah, kalau bukan orang mungkin saat ini sudah gue bacain Yasin biar sadar. Jantung gue hampir saja lompat dari tempatnya. Dari mana coba tiba-tiba muncul di belakang gue? Padahal pagernya sudah dikunci.