Nayla Dennara.
Habis mandi, gue cuma guling-gulingan di kasur sampai merasa sangat bosan. Jadi gue memutuskan untuk keluar sebentar seraya menikmati angin malam. Jarang-jarang gue seperti ini, jalan sendirian cuma pakai piyama biru dan kerudung pashmina hitam yang tadi diberikan oleh Nicko. Biasanyakan selalu rapi, tidak seperti ini. Soalnya gue itu tipikal orang yang terlalu mengurusi penampilan. Ya tidak mewah-mewah banget sih, asalkan rapi dan enak saja untuk dipandang.
Gue berjalan keluar dari komplek, ingin berburu jajanan pinggir jalan yang jaraknya tidak begitu jauh dari komplek sini. Soalnya kalau jauh-jauh gue tidak kuat untuk jalan, baru sebentar saja kaki gue sudah terasa pegal.
Sasaran pertama gue adalah kedai susu jahe. Katanya, banyak yang bilang kalau susu jahe disini rasanya enak, berbeda dari susu jahe yang lain. Karena penasaran, jadi gue langsung ingin mencicipinya.
Pada saat memasuki tenda susu jahe itu, gue langsung memesan satu cangkir dengan roti bakar sebagai pelengkap. Setelah pesanan gue sudah di acc oleh abangnya, gue bergegas duduk di pojok kanan. Pengunjungnya juga tidak terlalu ramai, hanya satu pasang suami istri dan empat ibu-ibu yang sepertinya sedang menikmati obrolan-obrolan negatif;gibah.
"Mang, satu ya. Biasa, jahenya jangan banyak-banyak naronya." Sebentar, seperti tidak asing suaranya. Cempreng-cempreng tapi songong gitu. "Lah Teh, lo ternyata." Tebakan gue tidak meleset. Perempuan yang kerudungnya gue colong, adalah pelakunya.
Gue tersenyum sumringah, merintahkan dia untuk duduk bersamaan "kok bisa kebetulan gini sih? Emang Lo sering kesini?" Tanya gue sok excited.
Indy mengangguk, bahwa pertanyaan gue itu benar "nggak sering-sering banget sih, cuma udah langganan aja sama abangnya." Gue mengangguk paham, bersamaan dengan datangnya susu jahe yang gue pesan tadi "lo sering kesini?" Kali ini gue menggeleng, karena memang faktanya begitu. Gue saja baru beberapa hari disini "nggak, ini yang pertama. Cuma penasaran aja sama rasanya, kata orang-orang sih enak. Jadi gue mampir ke sini."
"Rumah lo kayaknya deket sini ya?" Suka banget menebak-nebak, tapi entah kenapa tebakan dia tuh selalu saja benar. "Iya, gue tinggal di Mentari, rumah Tante. Soalnya gue nggak netap disini, mungkin nanti pulang." Pasti, pasti gue akan pulang, tidak mungkin menetap disini. Karena habitat asli gue disana, bukan disini.
"Udah lama kenal sama a Nicko?" Lagi-lagi, pertanyaan itu yang gue dapat. Padahal pada saat dirumahnya tadi gue sudah menjelaskan bahwa gue baru beberapa hari disini. Biarin deh, mungkin dia lupa "baru beberapa hari, ketemu di Braga." Kalimat akhir yang gue ucapkan sepertinya menarik perhatian dia untuk gue terus ngomong tentang pertemuan gue dengan abangnya itu. Soalnya dari cara dia memajukan wajahnya sedikit lebih dekat, itu sudah membuat gue paham.
"Oh, tumben loh a Nicko begini." Tumben? Maksudnya gimana deh? Memang biasanya seperti apa?
"Hah? Gimana maksudnya?" Tanya gue sangat penasaran. "Gimana ya gue ngomongnya, ribet soalnya." Sebenarnya gue tidak menuntut untuk dia menjelaskan, tapi gimana ya gue kepo juga. "Sebelumnya gue mau bilang makasih dulu nih sama lo, Teh." Sumpah, gue semakin tidak mengerti. Makasih untuk apa? Gue saja tidak memberikan apapun untuknya. "Makasih buat apa? Perasaan gue nggak kasih apa-apa loh? Ada juga gue yang harus bilang makasih sama lo, soalnya udah dikasih kerudung ini."
Matanya langsung membulat, seolah sangat terkejut dengan perkataan gue tadi "pantes anjir gue cariin nggak ada." Nah loh, malu banget deh gue kalau begini. "Gue nggak minta ya, Nicko yang kasih. Soalnya gue kesini cuma bawa kerudung dua. Besok deh ya gue balikin, biar dicu-"
"Selow kali, udah pake! Lo cantikan pake kerudung. Lagian di rumah gue juga banyak. Lo kalo mau lagi, ke rumah aja, tinggal pilih mau yang mana." Sombong amat, tapi sepertinya tidak salah sih. Kalau dilihat dari penampilannya, Indy ini sangat modis. Tidak heran kalau kerudungnya banyak seperti grosiran pasar Tanah Abang.