BAB 4 (YANG MULAI RETAK)

6 1 0
                                    

"Ra, jatuh cinta sebelum menikah tuh sakit ya ? Gue paham ini ngga bener, toh dia juga belum tentu suka sama gue, kalau gue kayak gini terus bisa bisa malah gue yang sakit hati. Ya ngga sih ? Gimana menurut lo ?". Curhat Zizi, ngga biasa-biasanya Zizi curhat masalah seperti ini.

"Semuanya fitrah, Zi. Aku pun tidak bisa sepenuhnya menjaga perasaanku buat ngga suka sama lawan jenis, pastinya rasa kagum itu ada. Tapi kita bisa menjaga perasaan ini dengan cara menjaga diri dari dia, kalau bisa jangan sering-sering komunikasi atau solusi tegasnya segera menikah." Jawabku menenangkan Zizi.

"Emang rencana nikah lo kapan, Ra ?

"Secepatnya, Zi. Kalau ada yang shalih, baik agama dan akhlaqnya, dia melamarku, ya bisa ku jadikan pertimbangan."

"Iya, Ra. Gue dukung lo banget kalau mau nikah cepet, gue tau selama ini lo kesepian banget. Gue kadang juga liat kok lo nangis kangen nyokap bokap lo, tapi mereka udah tenang disana, Ra. InsyaAllah. Dan satu-satunya kakak laki-laki lo juga udah punya istri yang ngga bisa bareng sama lo terus, jadi kayaknya lo emang harus cepet nikah. Bismillah ya, Ra."

"Makasih ya, Zi. Tapi aku juga ngga akan pernah lupa kok kalau aku punya kamu. Kamu selalu ada buat aku dalam kondisi apapun. Semoga aku bisa bales semua kebaikan-kebaikan kamu entah dalam bentuk apa nantinya." Jawabku dengan sedikit menitikkan air mata.

"Udah ah, kenapa kita jadi mellow banget sih, yuk ah berangkat Al-Quds setengah jam lagi kajian mulai." Kami beranjak menuju parkiran untuk menuju Masjid Al-Quds.

"Oiya, Zi. Kelupaan. Mampir gedung A dulu buat ngasih berkas kerjasama buat Yahya." Ajakku ke Zizi. Sekalian untuk menemaniku agar tidak berduaan dengan Yahya. Toh gedung A juga persis di samping parkiran.

Hari ini hari Rabu. Zizi tidak ada rapat, dan aku pun tidak ada agenda. Kami memutuskan untuk ikut kajian sore saja karena temanya menarik. Sekalian nanti sholat maghrib di masjid, dan langsung kami bertiga bersama Yahya rapat setelahnya untuk membahas kelanjutan proyek Care and Share for Ummah untuk anak-anak Palestina.

Sesampainya di gedung A, Yahya sudah menunggu di kursi panjang.

"Ra, ini berkas nya udah aku copy tiga, biar nanti rapat bisa baca semuanya. Kamu tinggal kasih cap aja." Kata Yahya menjelasakan.

Dari parkiran teman angkatan kami berteriak...

"ZAHRA, ZIZI, MOTOR KALIAN NIH, NGALANGIN MOTOR GUE, MAU KELUAR NGGA BISA." Teriak temanku karena dia terlihat terburu-buru.

"Zi, kunci motornya mana ?" Tanyaku.

"Oh di gue ya, yaudah gue yang pindahin, lo lanjut sama Yahya, gue tunggu parkiran ya, cepet ya kalian ngga pake lama, bentar lagi kajian mulai nih, jangan sampe telat." Oceh Zizi seperti biasanya.

Aku merasa kikuk ditinggal berdua bersama Yahya. Padahal sebelumnya aku ingin meminta tanda tangan ke dia, tiba-tiba merasa grogi dan tidak tau harus berkata apa.

"Ra, yang kemarin kamu belum jawab pertanyaanku." Tanya Yahya secara serius.

"Pertanyaan yang mana, Ya ?" Tanyaku pura-pura tidak mengingat.

"Umiku sudah sejauh apa bicara sama kamu ? Kamu ngga marah kan sama aku ?" Balas Yahya.

"Beliau cuma menanyakan menurutku kamu seperti apa, beliau bertanya bagaimana kalau kamu dijodohkan denganku." Jawabku lugas.

"Lantas ?" Tanya Yahya dengan wajah rasa ingin tau.

"Yahya, maaf. Aku udah ditunggu Zizi. Kajian mau mulai." Jawabku mengalihkan pembicaraan.

"Ra, nanti Umi mau ngomong sama kamu. Beliau kajian juga sore ini." Ucap Yahya sambal berlalu menggendong tas ranselnya.

Rasanya aku kurang fokus dalam kajian sore hari ini. Berkali-kali Zizi menepuk pundakku agar aku focus dalam mencatat materi kajian. Hingga kajian selesai pun aku masih merasa tidak nyaman dengan diriku sendiri. Hingga tiba-tiba Umi Yahya datang menghampiri aku dan Zizi. Beliau menyapa kami dan kami pun langsung mencium tangan beliau. Setelah basa-basi menanyakan masalah perkuliahan kami, beliau mulai menyinggung masalah Yahya. Dan yang kutakutkan terjadi. Zizi tau permasalahan ini.

"Umi bicara disini ngga papa ya, Nak. Sekalian ada Nak Zizi juga kan sahabat Nak Zahra."

Aku bingung harus menjawab apa. Sejujurnya aku sangat tidak ingin menyakiti hati Zizi. Aku tau betul Zizi menyukai Yahya, bahkan sebelum aku kagum pada Yahya. Dan sore hari ini aku akan menyakiti hati sahabatku sendiri.

"Jadi Nak Zahra gimana ? Perkataan Umi waktu di mall itu benar-benar serius ingin menjadikan Nak Zahra sebagai menantu lho, buat jadi istri Yahya anak Umi. Nak Zahra kan sudah kenal lama juga dengan Yahya. Pastinya sudah kenal baik, kan ? Gimana tanggapannya ?" Tanya Umi Yahya sembari menggenggam tanganku. Aku melihat raut wajah sedih dari Zizi. Dia menunduk. Aku tau dia tak kuasa mendengar percakapan ini.

"Umi, Zizi izin ke toilet dulu ya.." Aku tau Zizi menghindar dari percakapan.

Sejak sore itu, sampai 24 jamberikutnya Zizi tak kunjung membalas pesanku. Aku merasa menjadi sahabat palingjahat di dunia. Bahkan aku berpikir, aku akan mengikhlaskan Yahya kepada Zizijika dia mau, aku tak masalah menjadi yang sakit hati dibanding harus melihatsahabat terbaikku yang sakit hati. Bersambung...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ZAHRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang