Malam yang berbeda, dengan situasi yang sama. Entah bagaimana pagi tadi ia berhasil lari dan tidak dikenali oleh kerumunan orang, ia juga tak tahu. Bersusah payah ia menjauhi keramaian, namun takdir selalu berkata lain. Selalu saja, ia terjebak ditengah banyaknya orang. Namun anehnya, tak ada satupun yang mengenalinya.
Apa maunya orang-orang ini? Apa mereka sengaja tak mengenaliku? pikirnya. Sebuah keajaiban, semua orang-orang ini bahkan tak melihat ke arahnya. Apa ia sudah mati? Hanya itu yang terlintas di benaknya saat ini.
Bodoh! Tidak ada waktu untuk memikirkan ini!Ia berlari kencang menjauhi kerumunan orang lalu memasuki gedung tua yang sudah kumuh. Langkahnya yang gontai berhasil membuat suara sepatunya bergema mengelilingi gedung. Tak ada rasa takut sedikitpun, sebab orang-orang disini adalah orang-orang dibawah kekuasaannya.
Preman-preman jalanan tersebut menunduk hormat, sementara ia terus berjalan dengan acuh menaiki tangga, hendak naik ke atap di lantai paling atas hingga seorang pengawal menghalangi langkahnya.
"Maaf, Tuan. Bos sedang tak ingin bertemu dengan siapapun."Xavier membuang nafasnya geram. Apa-apaan dia ini? Memanggilku kesini lalu bilang tidak ingin bertemu siapapun.
"Lalu apa? Aku pulang saja?!" serunya mulai mengerti arah permainan bosnya.
"Saya juga tidak tahu Tuan, tunggu saja hingga perasaan bos membaik."Ular cerdik! batinnya pada diri sendiri. Ia melangkah menjauhi atap, sengaja membunyikan suara sepatunya dengan kencang.
Gubrak! Pintu menuju ke atap terbuka dengan keras.
"Elnanda Xavier! Beraninya kau!" serunya nyaring.
Elnanda Laufey, bos mafia terkejam peringkat kedua di dunia yang angkat bicara pada akhirnya.
"Ada apa, Ayah?" tanya Xavier santai. Apa yang harus ia takuti? Jelas-jelas yang ia hadapi hanya si tua bangka yang tidak tahu diri ini. Sejak kapan ada seorang Ayah yang mempekerjakan anaknya untuk menjadi seorang pembunuh bayaran? Apa itu yang namanya kasih sayang Ayah pada anaknya?"Apa yang kau ingin lakukan?! Mencobai ayah?! Berjalan keluar gedung agar ayah yang memintamu kembali?!"
Xavier memutar bola matanya malas. Mengapa ayahnya ini selalu sengaja melebih-lebihkan hal-hal kecil? Penyakit apa ini?!"Ada apa sebenarnya Ayah memanggilku kesini? Mencari gara-gara denganku?"
Wajah Laufey seketika memerah padam. Murka pada anaknya yang tidak pernah tahu sopan santun semenjak ibunya meninggalkan mereka. Apa ia kurang memberi anaknya kasih sayang sehingga ia tumbuh menjadi seorang anak tidak tahu diri seperti ini?
Laufey tak ingin mengambil pusing, tetap mengambil sikap tenang agar tak terlihat bodoh di depan pengawal-pengawalnya.
"Apa kau bodoh, hah? Bisa-bisanya kemarin malam kau kembali memasuki apartemen tua itu. Saat dikejar kenapa kau terus berlari kesana?! Apa kau tidak sadar apartemen itu bisa segera di tutup karena perbuatanmu?!""Ak-" Pembelaannya terpotong oleh celotehan ayahnya yang belum selesai.
"Asal kau tahu saja, dengan bodohnya pula tadi pagi kau keluar dengan santai. Kau tak ingat polisi pasti sedang berjaga-jaga disana?!"
"Tapi nam-"
"Ya, ayah yang memerintahkan salah satu kenalan ayah di kepolisian untuk menyatakan bahwa kau sudah tertangkap. Oleh sebab itu semua orang takkan memperdulikanmu. Mereka semua menganggap kau sudah tertangkap, tak mungkin kau dengan bebas bisa pergi kesana kemari."Xavier melengos. Ia lelah berurusan dengan pihak kepolisian, tapi seluruh perbuatannya memang selalu salah. "Hari ini kau punya target baru." Ujar ayahnya sambil menyodorkan dokumen-dokumen tebal berisi biodata dan informasi sang target.
"CEO dari perusahaan Megabond."
Xavier melengos lagi. Apa ia yang harus selalu melakukan perbuatan keji seperti ini?"3 hari lagi kau sudah harus memastikan nyawanya sudah tak ada. Ini permintaan dari klien penting, jangan berani-beraninya kau menunda dan menganggap enteng permintaan kali ini."
Xavier memutar kedua bola matanya malas, untuk kedua kalinya."CEO ini juga adalah cucu dari kelompok mafia Skulls, maka bekerjalah dengan hati-hati. Kau tak ingin mati secepat itu, kan?" ancam ayahnya pelan.
Xavier menarik dokumen-dokumen yang kira-kira berisi 500an halaman itu. Monster gila, apa alasan CEO ini harus dibunuh?!"Kelompok Skulls terlibat masalah dengan klien kita, semacam kecurangan dalam dunia bisnis. Sebagai bos mafia tentu saja ia takkan mengalah. Maka sudah menjadi tugas kita untuk membereskannya." Jelas Laufey seolah bisa membaca pikiran Xavier.
Tak ingin berbicara lagi, Xavier memasukkan dokumen-dokumen penting itu dalam jasnya lalu keluar dari gedung itu tanpa berpamitan terlebih dahulu.
Laufey menggeleng-geleng prihatin. Entah apa yang ia harus lakukan agar anak itu bisa patuh terhadapnya seperti layaknya orangtua dan anak.
Xavier mencoba meraih handphone di saku jasnya, ingin menghubungi Laurendo, sobat karibnya untuk mampir ke apartemennya siang ini. Tak heran jika setiap hari Xavier bermain ke apartemennya, sebab Xavier tak pernah punya tempat pulang, apalagi untuk makan siang.
Namun naas, ia tak dapat menemukan handphonenya. Panik, ia merogoh saku celananya lalu jasnya lagi. Tidak ada! Kemana hp itu bersembunyi?!Shit! Ingatannya yang pudar kembali tercetak jelas. Tentu saja kemana lagi handphonenya bisa tertinggal kalau bukan di apartemen itu. Ia berlari menuju apartemen itu yang tidak jauh dari tempatnya berada sekarang. Namun ia dapat melihat jelas bahwa semua polisi masih berjaga-jaga disana. Apa yang harus ia lakukan?! Menerobos masuk?!
Pandangannya beralih pada sebuah gadis kecil yang keluar dari apartemen dengan wajah bingung.
Ya! Gadis itu! Batinnya lega. Namun ia lupa bahwa ia tak memiliki alasan apapun sampai hpnya bisa tertinggal di apartemen gadis itu. Namun apa yang bisa ia lakukan selain mengarang cerita?Xavier berjalan mendekati gadis itu.
"Permisi," sapanya, mencoba untuk terlihat ramah dan tak terlihat mengerikan. Gadis itu terlompat mundur kebelakang, kaget. Xavier jelas lupa bahwa ia pernah ada di status buronan, walaupun beritanya sekarang sudah jelas bahwa ia sudah tertangkap.
"Em, saya tahu kau pasti kaget. Tapi saya bukan Xavier, tapi wajah kita memang mirip sih." jelasnya dengan sangat baku.Gadis itu menatap bingung. Xavier? Siapa? batinnya. Yang jelas ia hanya kaget karena tiba-tiba di ajak bicara oleh seorang lelaki selain pacarnya.
"Oh. Ada apa?" tanyanya berusaha terlihat biasa saja.
"Oh, anu, kemarin malam sepertinya saya salah memasuki ruangan apartemen. Kebetulannya lagi password kita mirip, lalu saya ketiduran semalaman disana. Maaf jika lancang, tapi saya benar-benar mabuk semalam." jelas Xavier lagi agar tidak terlihat mencurigakan.
Perempuan itu mengernyit bingung. Password apartemen yang sama? Jelas-jelas passwordku adalah tanggal lahirku, pikirnya. Namun ia mencoba berpikir bahwa mungkin saja pria ini juga lahir bersamaan dengannya."Tidak apa-apa." jawabnya santai. Xavier bingung, bisa-bisanya ada seorang gadis yang dimasuki apartemennya tanpa izin lalu tetap terlihat santai dan biasa saja?
"Kalau begitu apa saya boleh meminta tolong? Hp saya tertinggal dalam apartemenmu, apa kau bisa menolong saya untuk mengambilnya?"
Gadis itu, Rachel, terlihat sangat bingung. Namun kemudian bibir tipisnya mengukir senyum yang manis, memamerkan aura kecantikannya pada Xavier.
"Iya, tunggu," jawabnya lalu segera lari kembali masuk ke dalam apartemen.
Xavier yang baru pertama kali melihat senyum seperti itu masih membeku ditempatnya.
Apa-apaan itu barusan?Rachel berlari keluar membawakan hp Xavier.
Fiuh, untung saja lockscreenku hanya layar hitam. pikirnya lega sebab hampir saja saat itu ia memasang gambar pistol sebagai lockscreen."Terima kasih, omong-omong siapa namamu?" tanyanya penasaran, sebab ia merasa tidak enak hati jika selama ini tinggal di apartemen orang ini tapi malah tidak mengetahui namanya.
Tunggu, sejak kapan seorang Elnanda Xavier bisa merasa tidak enak hati?
"Rachel. Rachelle Alexis, panggil saja Rachel." jawabnya dengan senyum ceria, seperti baru saja bertemu dengan teman baru.
Tak ia sangka ini adalah awal dari sebuah cerita menakjubkan yang pernah terjadi dihidupnya.
to be continued
• • •jangan lupa vote dan commentnya! :)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hiding Place
RomanceLarinya menjadi semakin kencang. Satu-satunya jalan adalah memasuki ruangan dengan pintu elektronik itu, tetapi rasa bersalahnya tetap membuatnya ciut. Jantungnya berdegup kencang, hingga nyalinya harus dipertaruhkan, memilih antara hidup atau mati...