Lee Jihoon, pria berkulit seputih susu tengah memakan mie instant dengan damai. Mengunyah perlahan demi menikmati tiap rasa mie berpadu bumbu yang pas, lantas menggumam nikmat. Memakan mie instant di minimarket saat malam hari sudah menjadi rutinitasnya. Setelah lelah bekerja di ruang kedap suara dan kepala yang pusing sebab telinganya yang berdengung tiap gelombang suara mendobrak gendang telinga dan mengecap manis rumah siput mampu membuat si Tuan Rumah mengerang nyeri terkadang.
Jihoon menyeruput kuah mie sebelum nyaris tersedak karena sebuah suara benda jatuh terdengar di sebelahnya. Meletakkan mangkuk styrofoam di meja lalu menoleh ke sisi di sebelahnya, ekspresi terkejut dan tak percaya terlampir di wajahnya. Menakjubkan. Hebat sekali. Gadis mungil yang lebih kecil darinya memakan mie instant dengan dua mangkok nasi instant. Nasi yang yang dijatuhkan ke dalam mangkok mie instant menyebabkan suara seakan sebuah benda dijatuhkan dengan keras. Jihoon mengerti asal muasal suara itu, tetapi ia tak mengerti dengan porsi besar yang dimakan gadis asing itu.
"Kenapa? Mau coba?" pertanyaan si gadis membangunkan Jihoon dari lamunannya. Pria Lee itu tersenyum kaku lalu menggeleng. "Yakin tidak mau? Memangnya kamu kenyang setelah makan semangkok mie? Ah, kalau aku sih makan itu cuma jadi kentut doang." setelah berkata demikian, dia melanjutkan acara makan malamnya. Sementara, Jihoon tertawa lirih diam-diam. Cara makan si gadis terkesan lucu. Pipi gembil yang semakin membesar ketika menyuap besar nasi dan mie lalu sesekali menyeruput kuah. Entah kenapa, netra Jihoon enggan berpaling.
Jika tidak salah dengan hitungannya, Jihoon sudah menemani gadis pemakan nasi dan mie itu selama sebulan. Iya. Sebulan, tiga puluh hari. Lama sekali. Jihoon tidak bosan menonton seorang gadis memakan makanannya dengan lahap. Padahal ia bisa menonton acara mukbang, tetapi ia justru merasa bosan menontonnya. Berbeda dengan ia menonton si gadis itu, bukan bosan yang muncul melainkan rasa ketertarikan yang semakin menguat.
"Ahn Sua." Jihoon mengernyit ketika gadis itu menyebutkan sebuah nama. Apalagi tatkala gadis itu menoleh, menatap Jihoon yang semakin bingung. "Namaku Ahn Sua. Kamu?" barulah Jihoon sadar bila gadis itu mengajaknya berkenalan. Tanpa ragu, Jihoon memperkenalkan dirinya. Gadis bernama Sua tersenyum dengan mata sabitnya yang sukses membuat jantung si Lee berdegup lebih cepat.
"Kita selalu bertemu dan makan di sini. Jadi, kurasa kita harus berkenalan. Setidaknya, kita memiliki hubungan pertemanan bukan? Meski hanya sekadar teman makan bersama di minimarket." Jihoon mengangguk. Sempat merasa terkejut dengan kalimat pertama yang keluar dari mulut Sua. Dia takut dianggap penguntit, tetapi kenyataannya tidak begitu. Jihoon bersyukur tidak dicap aneh-aneh oleh gadis itu.
"Porsi makanmu besar, ya?"
"Meski tubuhku kecil, aku harus makan banyak. Tubuhku perlu asupan lebih untuk pekerjaanku."
"Memang pekerjaanmu apa?"
"Kamu tidak tahu aku?"
Jihoon memiringkan kepalanya. Otaknya diputar, mengingat-ingat nama Ahn Sua tetapi tak berhasil. Dia tak mengenal gadis bermarga Ahn itu. Satu hela napas keluar, Sua melanjutkan, "Tuan Lee, kamu pikir aku membiarkanmu menonton diriku yang makan malam selama ini karena aku tidak tahu? Hei, aku tahu tatapanmu dan aku membiarkanmu karena kamu adalah produser musik hebat seantero Seoul." membuat Jihoon membulatkan matanya sempurna. Mulutnya terbuka, terperangah untuk sesaat.
Mengubah ekspresi menjadi raut datar secepat mungkin, Jihoon menyembunyikan suara gugupnya saat membalas, "Maaf, membuatmu tak nyaman, tetapi aku benar-benar tak mengenalmu." mendengar balasan pria di sebelahnya, Sua memalingkan wajahnya dan mengendikkan bahunya.
Tatapan Sua menukik lurus ke jalanan lenggang di depan lalu kembali menyahut, "Ahn Sua, penyanyi wanita solo yang sedang naik daun setelah lima tahun debut." Jihoon menatap sisi wajah Sua. Tidak menimpalinya karena ia sibuk mengingat-ingat nama penyanyi. Ingatannya buruk untuk mengingat nama orang, tetapi baik untuk mengingat lirik lagu dan komposisi musik.
Akan mudah mengingatnya jika Jihoon sering menonton televisi, tetapi kenyataannya tidak. Dia jarang sekali menonton acara televisi. Biasanya, sesampai di rumah, ia akan segera mandi dan tidur. Sua yang seakan memahami dirinya, tertawa kecil lalu membuka suara lagi yang memicu si pria tertegun seketika. "Tuan Lee tidak berubah. Anda masih kesulitan mengingat nama orang. Jika aku mengatakan diriku adalah Nona Emas, apakah Anda akan teringat?" Jihoon menelan salivanya gugup. Tubuhnya terasa diguyur air es hingga menyesali kebiasaannya yang susah mengingat nama orang.
"Aku mengingatnya. Bakatmu itu emas dan tak heran jika kamu sukses sekarang." Sua tertawa setelah mendengarkan pujian Jihoon. Gadis itu menatapnya lagi dengan senyum merekah. "Tuan juga begitu profesional. Aku tak menyangka Anda menjadi produser sesukses sekarang." Jihoon tersenyum tipis. Benar. Dia menjadi produser yang sukses setelah berjuang keras selama ini. Ingatan tentang sebuah perjuangan muncul, mengirim getaran haru.
"Sudah lama kita tak bertemu. Lima tahun, ya. Kita sama-sama berjuang, tetapi bodohnya aku yang melupakanmu, Teman Perjuangan."
"Tidak masalah, aku memahaminya kok. Memori manusia itu terbatas, tak aneh jika kerap melupakan suatu hal. Lagipula, aku senang bisa bertemu denganmu lagi."
"Lalu, kenapa kamu tidak mengatakannya ketika kita bertemu di awal bulan?"
"Menunggu, mungkin? Aku menunggumu untuk menyapaku terlebih dulu. Konyol, sih. Mana mungkin pria pemalu sepertimu akan menyapa seseorang lebih dulu."
Jihoon tergelak. Ucapan Sua sepenuhnya benar. Dia adalah individu yang pendiam. Ditambah dengan pekerjaannya di studio dan jarang bersosialisasi, tentu membuatnya semakin sulit untuk menyapa dunia luar dan seisinya. Namun, ada pengecualian untuk beberapa orang yang benar-benar dekat dengannya, termasuk Ahn Sua.
Sua meneguk habis kola dan meremukkan kalengnya lalu melemparkannya ke tong sampah. Sua menatap Jihoon penasaran ketika berkata, "Tuan, aku pikir kamu tidak menyukai nasi sekarang, apakah benar?" alih-alih menjawab, Jihoon malah menertawai gadis itu. "Jangan bersikap formal seperti itu. Kita adalah teman lama 'kan?" Sua mendengus lucu membuat Jihoon semakin tertawa.
"Aku masih menyukai nasi kok. Akan tetapi, aku tidak memakannya bersama mie instant lagi. Sebab, itu tidak baik untuk kesehatan." tukas Jihoon yang mendapatkan tatapan terkejut dari Sua.
Hei, bagaimana bisa dia berkata seperti itu setelah aku meneladani perilakunya? Ternyata aku meneladani sisi negatifnya.
Sua berdehem sebelum menimpali, "Kalau begitu, aku tak akan makan mie instant dengan nasi lagi." yang disambut tertawaan Jihoon. Menyebalkan, sih. Namun, Sua merasa senang melihat temannya tertawa kembali. Dia sempat mendengar rumor tak sedap yang menjelaskan bahwa Jihoon adalah produser mengerikan dan tentu saja Sua tak memercayai rumor itu. Dia lebih tahu mengenai Jihoon, meski kala itu ia sudah lama tak berhubungan lagi.
"Jihoon."
"Apa?"
"Aku baru saja berpikir suatu hal yang bagus."
"Katakan saja."
"Ayo kita bekerja sama lagi. Anggap saja kita reunian."
Jihoon tersenyum lembut bersamaan tatapan Sua yang menyiratkan kebahagiaan. Sudah lama ia tak melihat mata berbinar milik gadis itu. Sudah lima tahun setelah mereka memutuskan untuk bekerja sama untuk project debut Sua. Debutnya memang disambut baik, tetapi tidak begitu banyak yang meramaikannya. Jihoon pun tidak jauh berbeda. Debutnya sebagai produser disambut baik meski ia jarang mendapatkan kesempatan membuat lagu untuk para penyanyi. Namun, mereka sama-sama bekerja keras demi karir masing-masing.
Meski setelahnya, mereka tanpa sadar memutus kontak dan fokus meniti jenjang karir masing-masing hingga di sinilah mereka bertemu kembali dalam keadaan menyenangkan. Mereka menjadi manusia yang sukses berkarir dan Jihoon sangat bersyukur akan hal itu. Jadi, menyentuh kepala si gadis dan mengusapnya lembut, Jihoon berkata ringan, "Tentu. Ayo kita bekerja sama lagi."
>>Fin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer Breeze || Seventeen ✔
Fiksi PenggemarSummer Breeze Bersamaan angin yang bergerak tenang, ketiga belas pemuda menemukan kisah mereka sendiri di musim panas tahun ini. Layaknya es krim yang berpadu dengan teriknya matahari; menyegarkan, menenangkan, dan mengejutkan. Mereka sadar bahwa ge...