M - 1 : Tangis dan Tawa

63 9 13
                                    

Tok... tok... tok...

Ketukan pada kedua bilah pintu kamarnya berderu kencang. Membuat serangkaian lamunan sang gadis seketika melebur total. Tungkainya dibawa mendekat pada pintu bercat coklat latte itu, tak lupa membukanya perlahan.

"nona, ayo kebawah, makan malam sudah siap. Sejak pagi nona hanya berdiam diri di kamar saja, apa tidak lapar?" ujar bibi shin sembari melemparkan senyum hangat nan meneduhkan.

Mendengar hal itu, Yena sontak melenggangkan sepasang tungkai mulusnya ke tempat semula, menyelami kembali lamunan beberapa menit lalu dengan raut masam. Bibi shin yang terlampau peka dan mengenali bagaimana kehidupan nona nya dengan baik sejak kecil itu, lantas berujar lirih.

"sampai kapan nona akan bersedih seperti ini terus? Nona masih sangat muda dan cantik, banyak hal yang harus nona jemput di masa depan. Jika nona sudah tak ingin bangkit dan bergerak maju lagi, apa yang akan nona raih esok hari? Tetap sama bukan, hanya sebuah luka dan kepedihan yang kian pekat terasa."

Segala frasa yang dilontarkan bibi shin bagai sebuah sihir yang mampu menggerakkan hati dan pikirannya. Tanpa izin untuk kesekian kalinya, bulir air mata jatuh dari kedua manik sayunya, melewati epidermis halus nan lembut itu, sontak membuat bibi shin membelalakkan kedua netranya pertanda terkejut.

Lantas tanpa aba-aba, digiringnya yena masuk kedalam dekapan hangatnya, mengelus puncak kepala nonanya dengan penuh kehati-hatian seakan barang yang sangat rapuh. Yena memejamkan mata guna merasai lebih kasih sayang tulus yang bibinya berikan bagai seorang ibu pada putrinya.

Yena bagai terkurung dalam sangkar, tetapi tak sempit, tak kotor pun tak bau. Hanya saja ia selalu merasa kesepian di rumah sebesar ini tanpa kedua orangtua dan sanak saudara. Membuat jiwanya bagai mati rasa karena tak pernah mendapat segelintir sentuhan apapun. Apakah benar firasatnya jika ia memang ditakdirkan untuk menjadi seorang broken home?

Baginya, bayang-bayang akan hal seperti ini yang selalu terlintas apik pada relung hatinya, semakin lama membuat ia kalut dan larut akan rasa takut.

Kasih sayang penuh yang teman-teman lain rasakan, sangat jarang ia dapatkan seolah itu adalah sebongkah bingkai semu. Hanya sang rembulan dan mungilnya bintang saja dengan setia menemani hari sepinya, terlampau jauh meniti dengan jelas segala keterpurukannya.

"nona harus semangat dan tak boleh menyerah. Masih ada bibi disini yang akan menemani setiap langkah nona berpijak nantinya, memilih jalan hidup terindah yang akan membawa nona pada kebahagiaan."

"setelah semua ini terjadi, apakah bibi yakin aku masih bisa memilih jalan hidupku sendiri? Aku bahkan tak ingin semua kemewahan ini bi, aku hanya ingin pelukan hangat dan senyuman tulus papa mama, itu saja. Aku ingin mereka ada bersamaku dikala aku bersedih dan kesepian, melihatku tumbuh, bukan malah sering meninggalkanku seperti ini. Aku sangat membutuhkan kehadiran mereka disisiku."

Biarkan yena menjadi sedikit egois kali ini. Apa permintaannya adalah sebuah hal yang salah? Permintaan tulus seorang anak pada orangtua kandungnya sendiri.

Yena semakin menyandarkan kepalanya pada dada bibi shin guna mencari tempat ternyaman untuknya singgah sementara. Tak ada jarak yang tercipta diantara kedua wanita beda generasi tersebut. Ranum merah mudanya dibiarkan terkatup rapat tak ingin semakin memperkeruh suasana dengan aksaranya. Dentingan jam seolah menjadi melodi pengantar kesunyian kala itu.

"bibi yakin, orang tua nona melakukan ini semua demi kebaikan nona. Mereka pasti sangat menyayangi nona, buktinya mereka siap bekerja keras siang malam, meninggalkan nona sendiri, demi meraih semua yang ada saat ini, dan memberikan hidup serta barang-barang yang layak untuk nona nikmati." Bibi shin berusaha sekuat tenaga membuat yena tak menitihkan air mata lagi seperti tempo hari.

Bagaimana tidak, setiap hari yang yena lalui, air mata seolah tak pernah absen menghampiri kala sepi. Bukan tanpa sebab, gadis itu hanya selalu merasa sendiri, sepi, dan tak punya siapapun. Kebebasan dan kebahagiaan seolah hanya ada dalam cerita fiksi, semua tak nyata, pikirnya.

Ubahlah lukamu menjadi sebuah kebijaksanaan di masa depan. Jiwa yang bahagia adalah pelindung terbaik untuk dunia yang kelewat kejam. Benar bukan?

-----

Disisi lain, seorang pria sedang serius berkutat dengan segala berkas yang harus segera ia periksa. Membuat seluruh tubuhnya berkedut lelah, bahkan sepasang netra tajam itu tak dapat beralih pada atensi lain.

Tak mengagetkan, sebab ia memiliki perusahaan bidang properti yang namanya telah melambung besar dan terkenal di setiap penjuru kota. Membuat hampir dari separuh hidupnya harus ia habiskan bersama kegiatan membosankan seperti ini.

"ahhh!! Akhirnya selesai juga..." jungkook menghembuskan napas letih dan lega kala semua pekerjaan pada hari itu telah selesai.

Menggulung kemeja hingga siku, menampakkan tonjolan urat hijau yang begitu kentara terlihat. Tak lupa membereskan sebentar ruang kerjanya yang tampak berantakan jika dipandang.

Memejamkan onyx hezelnya sebentar pada kursi kebesarannya sambil menguap merasakan bagaimana tubuhnya terkulai lemas hingga seketika rasa puas datang mendera kala bongkahan imajinasi tiba-tiba muncul dalam otak jeniusnya.

Ya, satu yang jungkook selalu tanamkan bahwa ia melakukan semua kerja keras ini demi hidup yang bahagia di masa depan bersama dengan gadis tercintanya. Setiap apa yang ia perjuangkan, tidaklah berakhir sia-sia. Semua orang cukup familiar dengan kalimat itu bukan.

Setelah beberapa menit terpaku dan tak berkutik
guna mengistirahatkan badannya, lekas jungkook meraih ponsel di sisi tubuhnya. Mencari nomor seseorang dengan lengkungan kurva manis yang tak pernah tenggelam pada kedua celah bibirnya.

"halo... sayang, tetap disana, tunggu sebentar ya, aku akan mejemputmu setelah ini." Jungkook berujar penuh kelembutan, sedikit menggelikan memang memanggil dengan embel-embel sayang.

"tak usah repot seperti itu jung, kau bisa langsung pulang saja. Aku bisa naik bis nanti. Santai saja jangan terlalu mengkhawatirkanku." Hyera berujar dengan tulus, membuat seseorang diseberang sana mendesah sedikit kecewa.

"apa kau lupa, jika kita ini sepasang kekasih, aku tidak merasa terbebani sama sekali, dan heii... jangan bersikap kaku seperti dulu lagi, aku bukan orang lagi asing dalam hidupmu, bukan?" jungkook berucap sedikit menggebu seraya mulai melunturkan lengkungan kurva indah yang tadinya mengisi penuh sudut bibirnya.

"tentu saja tidak. sungguh maafkan perkataanku, aku tak bermaksud seperti itu, baiklah akan kutunggu. Hati-hati di jalan yaa." nada menyesal sangat kentara menguar bebas dari bilah ranum merah muda hyera, bersamaan dengan itu, perasaan hangat dengan cepat mendera hati kecilnya. Sungguh ia adalah gadis yang beruntung.

"astaga tidak apa-apa, tidak perlu meminta maaf karena kau tak salah, ahh... bagaimana bisa semakin hari kau semakin menggemaskan seperti ini, aku jadi tak sabar menemuimu nanti, sampai jumpa!!"

Tut...tut... sambungan telepon terputus.

Jungkook bergegas memakai jas nya dan mengambil kunci mobil, tak ingin sang jelita menunggu presensinya hadir lebih lama, sebab ia juga merindukan gadisnya, ya pusat dari seluruh hidupnya.

Tanpa jungkook duga, setiap frasa yang pria itu lontarkan menimbulkan afeksi begitu besar pada gadisnya di seberang sana, hatinya berdebar kencang tak karuan disertai merambatnya rasa hangat pada kedua belah pipi lembutnya, gelenyar aneh sedikit demi sedikit mulai hinggap melingkupi aliran darah.

Mellifluous
Rid, 21 Juni 2020.

Hai, apa kabar kalian? Masih semangat menjalankan aktivitas hari ini?
Jangan lupa jaga kesehatan yaa...

Biggest love, Rid. 🙆‍♀️💜

MellifluousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang