Prolog

59 5 0
                                    

Macet. Ada banyak mobil yang menghalangiku jalanku. Tak heran sih, hari ini kunjungan seorang pejabat dilakukan pada organisasi petani--yang omong-omong pemiliknya adalah tetanggaku sendiri. Karena tak mungkin menembus kemacetan yang kupikir akan berrisiko diberhentikan oleh Polisi, akhirnya aku memutuskan untuk menyimpan motor maticku di pinggir jalan.

Aku berlari menuju rumahku yang atapnya sudah terlihat dari kejauhan. Napasku berderu, dan langkahku terhenti ketika melihat kumpulan anak kecil yang berada beberapa meter dari rumahku.

"Ayo kita ke perpustakaan sekarang." Aku berseru senang. Sedangkan, anak-anak yang kuajak menatapku dengan pandangan tak mengerti. Mereka semua mengeryit seolah tak tahu maksud dari ucapanku. "Kalian semua anak-anak yang diajak Okta kan?" hening. Mereka semua tak menjawab, kebingungan masih memenuhi otak mereka.

Aku yang awalnya terlalu bersemangat, akhirnya ikut bingung juga.

Sebenarnya Okta kemana sih?

Aku mengedarkan pandangan, dan menemukan Okta tengah melambaikan tangannya di depan rumahku. Ia nyenyir, sepertinya tahu kesalahpahaman yang terjadi antara aku dan sekumpulan anak-anak yang kebingungan ini.

Aku menghela napas. Wajahku pasti merah sekali sekarang. Aku menatap anak-anak itu, dengan canggung. "Maaf, Kakak salah orang." Kemudian langsung ngacir pada kediaman Okta.

"Kok kamu nggak bilang kalau anak-anak itu bukan anak yang kamu maksud sih?!" aku bersunggut kesal. Sedangkan, orang yang menjadi sumber kekesalanku hanya terkekeh pelan, wajahnya penuh dengan ledekan. Ah, ciri-ciri manusia yang suka tertawa di atas penderitaan orang lain.

"Jadi, mana anak-anak yang kamu maksud itu?" kemudian Okta menunjuk seorang anak yang tengah asyik memandangi aquarium yang ada di depan rumahku. "Satu anak?" aku menatap Okta dengan tidak percaya. Sedangkan, lelaki yang aku tatap itu mengangkat bahunya.

"Semuanya butuh proses. Nggak ada instan kayak mie instan. Kata caption anak-anak instagram, proses itu nggak akan menghianati hasil. Tempelin kata-kata itu di otak kamu yah." Ia tersenyum, dan menunjuk keningku.

Aku menghela napas, berjalan kearah anak itu, dan jongkok untuk menyamakan tinggi badan.

"Hai, nama kamu siapa?" sapaku. Anak lelaki yang mempunyai potongan rambut seperti mangkuk itu menatapku, kemudian menatap Okta yang ada di belakang tubuhku.

"Kak Okta, masa orang asing ini mau nyulik aku sih?" anak itu berlari kearah Okta, aku menepuk keningku sendiri.

Kok nemuin anak-anak yang mau baca di perpustakaanku susahnya kayak nemuin jarum diantara jerami sih?

Aku berdiri, dan menatap Okta yang hanya nyengir. "Biasalah anak kecil, kalau ada orang asing yang deketin dia pasti nyangka kalau orang itu penculik."

Aku memijit kepalaku yang sedikit terasa sakit.

"Kak Okta, katanya Kakak mau beliin aku ice cream kalau aku mau diajak kesini. Tapi, kenapa Kak Okta malah ngasihin aku sama penculik itu?" Okta menutup mulut anak lelaki berambut mangkok itu dengan kedua tangannya. Kemudian nyengir, wajahnya tampak bersalah karena telah ngajak seorang anak dengan mengiming-imingin ice cream.

Aku menghembuskan napas berat. "Ajak dia beli ice cream. Kalau bisa beli sama feazeernya sekalian."

"Sorry ya-"

"Udah gapapa. Pergi sana, aku nggak mood liat wajah kamu." Setelah Okta menghilang dari pandanganku, aku segera membuka pintu rumah.

Rumahku terdiri dari 2 lantai. Lantai pertama digunakan sebagai tempat mencari rezeki karena orangtuaku membuka sebuah toko sembako sederhana di sana. Nah, kalau lantai 2 adalah ruang pribadiku. Di sini ada sebuah kamar, toilet, dan sisanya hanyalah ruangan sederhana yang di penuhi rak buku yang menjulang tinggi. Ada berbagai jenis buku di sana. Dari novel, komik, hingga cerita anak. Seringkali, aku mengajak anak-anak untuk membaca di tempat ini, tetapi tak satu pun anak yang datang.

Sedihkan?

Sekalinya Okta mengatakan bahwa ada anak yang mau membaca di perpustakaanku ini--ternyata anak itu disuap oleh Okta.

Hei, aku ini tak butuh kepalsuaan ya!

Aku duduk pada salah satu meja, dan melipatkan kedua tanganku di sana. Kepalaku sengaja kutenggelam di antara dua tangan itu. Aku merasa..gagal.

Padahal, sudah berkorban mengeluarkan tabungan untuk membeli buku untuk anak-anak itu.

Apa susahnya sih baca buku secara gratis?

Suara pintu yang berderit, menandakan seseorang masuk. Aku menghapus air mataku dengan payah, mendonggak, dan ketika itu pandanganku bertemu dengan seorang pemuda berpakai formal.

Ia adalah salah satu rombongan dari pejabat yang berkunjung itu. Pintu rumah lantai duaku yang awalanya sepi juga sekarang dijaga oleh beberapa Polisi dan Tentara.

Orang itu bernama Naufal. Anak pejabat yang sering kali menjadi bahan gosip para kaum hawa.

"Hai." Sapa lelaki itu. Ia kemudian duduk di kursi yang otomatis langsung berhadapan denganku seraya tersenyum manis.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Aku mencontohkan salam yang bener ketika seorang muslim menyapa muslim lainnya.

Lelaki berpakaian rapih, ramput rapih, wajah mulus bersih itu terkekeh pelan. "Walaikumsalam warahmatullahi watabaratuh."

"Ada yang bisa saya bantu?" aku bertanya. Setiap sore setelah pulang bekerja, perpustakaan ini juga buka, dan biasanya akan ada beberapa mahasiswa yang mengerjakan skripsi di sini. Jadi, bukan tak mungkinkan kalau lelaki itu juga ingin meminjam salah satu buku di sini?

"Harusnya aku yang nawarin kamu bantuan." Ia menjeda ucapannya. Wajahnya masih sama sombongnya seperti terakhir kali kami bertemu. "Apa perpustakaanmu mau di promosikan oleh Ayahku, sehingga semua orang akan tahu tempat ini?"

Aku reflek mengeleng. Ia tersenyum. "Jadi, kamu mau mempertahankan anak kecil yang disogokkin ice cream sama Okta itu?"

Emosiku tersulut. Ia telah melukai harga diriku. "Jadi kamu nguping.?" aku berdiri dari dudukku. Menunjuk Naufal dengan tidak sopan. "Apa kamu nggak tahu kalau nguping itu nggak baik? Atau jangan-jangan kamu masih belum tahu mana yang salah dan mana yang benar?"

Hening.

Lelaki itu mematung dari tempat duduknya.

Jumat, 19 Juni 2020
Bersambung..
WiwitWidianti

Besok Baik-baik SajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang