Bagian Tiga

13 1 2
                                    

Aku memperhatikan Naufal dari jauh. Selain so kegantengan, menurutku Naufal juga agak sombong. Ia adalah salah satu cowok famous--yang omong-omong orangtuanya adalah seorang pejabat.

Aku tidak mau lagi surat ketiganya sampai lagi. Cukup. Satu surat saja bisa menyeretku pada julukan 'pengangguran' apalagi surat lainnya.

Tapi, sekarang aku harus bagaimana?

Apa aku harus terus terang berbicara padanya untuk tak lagi mengirimku surat?

Tapi, bagaimana jika tiba-tiba seseorang melihat kami tengah mengobrol, dan kami disangka mempunyai hubungan. Yang berimbas pada dipecatnya aku, dan dihukumnya Naufal.

Bagaimana?

Dipecat adalah mimpi buruk bagiku.

Pemikiran-pemikiran yang aku pertimbangkan selama satu minggu penuh itu, akhirnya menemukan jawaban ketika aku bertemu Naufal di salah satu supermarket yang letaknya lumayan jauh dari sekolah. Naufal terlihat tengah memilih produk mie instan bersama Hilman, dan Jodi.

Ini adalah saat yang tepat Mut!

Namun, beberapa detik sebelum menegur Naufal, telingaku mendengar sebuah suara yang tak asing.

"Eh, Muthia?" itu suara Pak Zaenal. Aku segera menoleh, dan tersenyum ketika mendapati Pak Zaenal beberapa meter dari kediamanku. Kami terlibat obrolan basa-basi yang berisi tentang sebuah pertanyaan janggal, tentang bagaimana aku bisa berada di sini saat para lelaki famous itu berada di sini juga.

Hei, aku ini bukan penguntit yah! Itu harus digaris bawahi.

"Saya cuman takut dugaan Pak Yasa itu benar Mut. Ingat, semua anak yang sekolah di sekolah kita itu bukan anak sembarang."

Aku mengangguk kelu.

Aku tahu hal itu, dan kurasa Pak Zaenal tak perlu mengingatkan hal tersebut. Tak lama dari itu, Pak Zaenal pamit pergi.

Naufal, Hilman, dan Jodi masih memperdebatkan mie instan yang akan mereka beli. Aku di ambang kebimbangan. Harus menegurnya, atau pura-pura tak tahu menahu untuk kemudian surat-surat lainnya kembali berdatangan, membuka mata, seraya menunggu hal itu bocor kepermukaan.

Tapi, akankah aku bersikap sepengecut itu?

Aku menghela napas berat. Mendonggak, kembali melihat keberadaan Naufal dan kawan-kawannya. Tanpa di duga, pandangan kami bersatu. Aku bisa melihat mata Naufal yang berbinar. Ia memberikan kode kepada Hilman, dan Jodi untuk pergi. Kemudian, ia berjalan kearahku, tersenyum.

"Eh, Teteh bakso tahu?"

Sekarang begini saja. Siapa orang pertama yang menyebutku dengan sebutan 'Teteh bakso tahu'? Jelas, ia adalah pengirim si surat. Dan, ketika Naufal--omong-omong ini adalah percakapan kami untuk yang pertama kalinya, menyapaku, dan memanggilku Teteh bakso tahu. Sudah tak lagi bisa di sangkal bahwa ia adalah pelaku pengiriman surat cinta memuakkan itu.

"Berhenti ngirimin aku surat-surat itu."

Naufal mengeryit. Salah satu alisnya terangkat, senyumannya memudar. "Kenapa aku harus berhenti ngasih Teteh surat? Kan itu hak aku, buat ngasih seseorang yang dicintainya sesuatu."

Aku melotot. Tetapi jurus andalanku sama sekali tidak berpengaruh terhadap Naufal. Ia menyeringai. "Teteh mah suka lucu kalau marah, teh."

"Sebenernya sih nggak masalah kalau kamu ngirimin surat cinta itu sama orang lain. Tapi masalahnya kamu ngirim surat cinta itu ke aku. Aku nggak suka itu, dan surat cinta itu udah ngebuat aku punya masalah sama Pak Triadi."

"Itu sih salah Teteh sendiri. Karena Teteh kesenangan dapet surat dari aku. Jadi, Teteh ngumumin surat itu ke semua orang. Aku nggak berniat ngasih Teteh masalah kok."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 12, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Besok Baik-baik SajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang