"Ada yang nitip. Katanya buat Muthia seorang." Bu Dian menyodorkan sebuah kertas lecek berwarna biru muda. Seraya mengambilnya, otakku berputar.
"Ini dari siapa Bu?"
Bu Dian yang tengah sibuk membersihkan gerobaknya, terlihat mengangkat bahu. "Yang ngasih sih si Jodi. Katanya, itu titipan dari seseorang." Bu Dian menjeda ucapannya. Angin membuat jilbabnya melambai-lambai. Ia mengerahkan pandangan, setelah di rasa aman, ia kembali berkata. "Pengagum rahasiamu kali." Ia berbisik.
Aku melotot. Kertas biru muda yang merangkap menjadi sebuah surat membingungkan itu hampir saja terlepas.
"Yaudah syukurin aja atuh Mut. Kalau ada satu murid yang suka sama kamu, dan mau nikahin kamu kan lumayan, bisa ketulalaran kaya." Bu Dian tertawa meledek. Kemudian berjalan menjauh dari kediamanku, ia pergi ke tempat kediaman Ibu-Ibu lainnya. Ah, pasti mereka akan mengosipkan surat biru muda ini.
Aku mendengus.
Ucapan Bu Dian itu sama sekali bukan keberuntungan untukku. Menikah dengan orang kaya? Haha, itu hanya mimpi kecilku saja, dan sudah pasti bahwa itu tak akan pernah terjadi. Lagi pula, orang kaya mana yang mau menikahi perempuan penuh kekurangan sepertiku?
Tak mau terus-terus dipermainkan prasangka, aku memutuskan untuk membuka surat tersebut.
Oh, wahai Teteh bakso tahu yang cantik rupawan..
Yang jika tersenyum indahnya bagai intan..
Terimalah salam ini dari seorang pemuda tampan rupawan.
Oh, wahai Teteh bakso tahu..
Rasa-rasanya bulan pun enggan bersinar lebih terang karena merasa iri dengan aura yang Tetah bakso tahu pancarkan.
Oh, Teteh bakso tahu..
Tidakkah Teteh merasakan aura yang sama seperti aura pria tampan ini?
Atau jangan-jangan kita berjodoh?
Oh, Teteh bakso tahu..
Sekiranya Teteh mau menerima cintaku ini?
--Your beybeh
Surat dengan kadar gula tinggi melebihin harumanis yang di jual pedagang pasar malam itu benar-benar membuatku mual.
Hei, siapa sih pelaku pengiriman surat iseng ini?
Aku meneremas surat tersebut dengan kesal, melemparkannya, dan hap..surat itu tak sampai pada tempat sampah sebagai tempat tujuannya. Sialanya, surat itu malah mengenai kepala Pak Triyadi--guru Bk di sekolah ini, yang terkenal dengan kumis setebal Pak Raden. Secara reflek, aku menunduk dan bersembunyi di gerobak bakso tahuku. Aku menutup kedua telingaku dengan tanganku sendiri, seolah gendang telingaku akan disuguhi oleh suara petir yang memekakkan telinga--tetapi aku tahu, ini lebih berbahaya dari pada petir. Telingaku bisa jauh lebih parah bila berurusan dengan Pak Raden ini--oh, maksudku Pak Triyadi ini.
"Siapa pelaku pelemparan kertas ini? Siapa dalang di balik semua ini hah?" suara Pak Triyadi menusuk telingaku, aku merasa tak enak hati, ketika orang-orang yang tengah makan di kantin menyebut-nyebut namaku.
"Muthia!"
Benarkan dugaanku!
Pak Triyadi memukul gerobakku pelan. Tubuhku terlonjak kaget.
"Kamu ngapain sembunyi di situ? Mau lepas tanggung jawab dengan apa yang kamu barusan lakuin?"
Pelan-pelan, aku mendonggak, dan berdiri. "Eng..enggak Pak tadi kayak ada kilatan cahaya gitu. Aku pikir itu petir, kebetulan aku takut petir jadinya ngumpet di bawah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Besok Baik-baik Saja
RomanceUPDATE SETIAP SELASA Sebuah surat cinta berwarna biru muda Muthia terima. Surat itu berisi kata-kata norak yang membuat Muthia mual. Kira-kira siapa sih orang iseng yang mengirimkan surat itu kepadanya? Setelah melakukan penyelidikan-penyelidikan ke...