T a n d a C i n t a

18 4 1
                                    

Akhir pekan, hari-hari dimana seluruh orang bergembira. Tak terkecuali sepasang kekasih yang tengah duduk di bawah pohon rindang, di atas bukit, beralaskan tikar kuning muda. Astra dan Suma nama mereka. Keduanya memiliki paras mempesona. Suma yang berkulit putih menyender dengan manja dipundak lelakinya, memeluk lengan kekar yang membuatnya nyaman itu. Mereka bercengkrama, tenggelam dalam dunia milik mereka berdua.

"Menurutmu sampai kapan kita akan seperti ini terus ?" tanya Astra tanpa melihat wajah Suma.

"Sampai tua, hihi"

Astra menoleh dan menatap Suma yang sedang tertawa kecil. "Yang benar aja, maksudku, kamu mau seperti ini sampai tua ? memangnya kamu tidak mau menikah ?"

Suma kaget mendengar perkataan Astra, ia sempat tertegun lalu memalingkan muka sambil tersenyum. Ia lepaskan pelukannya pada Astra dan beralih memeluk lututnya. Ia mengamati pemukiman yang nampak kecil dari atas bukit.

"Hei, Suma lihat aku !" Suma mencoba tak menggubris apa yg dikatakan Astra. Astra terus membujuk Suma untuk menoleh padanya sambil mengguncang-guncang pundak Suma. Suma pun tertawa geli, namun tetap tak menoleh.

"Suma, lihat aku sebentar. Jangan biarkan cincin ini menunggu." Ucap Astra. Suma menghentikan tawanya. Tangan yang erat memeluk lututnya mulai longgar. Suma menoleh, menatap Astra yang tampak berbinar-binar. Pandangannya Beralih pada cincin cantik yang diperuntukan Astra untuknya.

"Kamu..."

"Aku minta maaf kalau caraku sedikit aneh. Tapi harus aku katakan, aku sangat serius denganmu, Suma. Aku pikir sudah waktunya untuk kita menikah dan hidup..."

"Tidak bisa"

Astra mengerutkan kening saat Suma memotong perkataannya dengan lirih. Dilihatnya tatapan Suma begitu sendu, juga caranya memainkan kuku. Astra mengetahui kalau Suma kini sedang cemas, namun apa yang dicemaskannya ?

"Aku tak bisa menikah denganmu, Astra. Aku tak boleh"

Astra hanya terdiam, ia tak mengerti. Ia menunggu Suma memberi penjelasan lebih lanjut. Namun yang ia dapati adalah tubuh Suma yang sedikit bergetar seperti manahan tangis. "Kenapa ?"

"Aturan dari desaku, bahwa siapa pun dari kami tak boleh menikahi orang dari luar desa."

Astra bangkit, berdiri, membiarkan cincin lamaran yang telah ia persiapkan lama terjatuh entah kemana. "Aturan macam apa itu ? Dan kenapa kamu baru bilang sekarang ? Kenapa ?!"

"Oh, atau kau sudah berencana mengatakannya nanti, saat kau sudah menikah dengan pemuda lain dari desamu ?!" Ucap Astra dengan nada penuh prasangka buruk.

"Tidak ada orang lain, cuma kamu, Astra"

Astra memejamkan mata sejenak, "Aku tidak mengerti"

"Aku... hanya tidak boleh"

Pikiran Astra tengah kacau, perkataan Suma yang tak masuk akal baginya membuatnya benar-benar emosi. Ia butuh waktu sendiri untuk berpikir. Ditinggalkannya Suma yang sedang cemas. Yang ia inginkan hanya pulang dan berpikir.

"Jika kamu mau menjadi bagian dari desaku, maka kita bisa menikah, Astra !"

Astra menghentikan langkahnya, perkataan Suma memunculkan sedikit harapan yang mendorongnya untuk menoleh pada Suma. Menanti maksud dari perkataan Suma.

"Seperti yang kau tahu, aku memiliki semacam tanda lahir, dan seluruh penduduk di desaku memiliki yang persis. Kau harus memilikinya juga sebelum menikahiku.

Astra mengerutkan kening, ragu antara menghiraukan perkataan Suma atau pergi saja. Ya, pilihan kedua. Astra berjalan menjauh dan pulang.

Malam yang biasanya indah karena bayangan akan tawa dan cantiknya Suma tak terasa lagi bagi Astra. Isi pikirannya memperhitungkan masa depan. "Apa tanda lahir yang dikatakan Suma masuk akal ? Apa Suma sedang bercanda ? Tapi itu bukan hal yang bisa dijadikan candaan ? Apa sebaiknya aku mencari pengganti Suma ?" Astra meremas rambutnya, kesal karena bisa-bisanya berpikir untuk meninggalkan Suma.

A Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang