REF:Rain - 1

36 3 20
                                    

©

“Hana, kenapa? Kamu tak suka cokelat ini?” tanya Refa menatap Hana dengan bingung.

Hana menoleh, detik berikutnya ia menghembuskan nafas lelah. “Sini.” pintanya dengan merebut cokelat batangan itu dengan paksa. Refa sedikit terkejut dengan sentakan yang Hana berikan ketika merebut cokelat yang ada di tangannya. Namun demikian dia tersenyum, senang karena pemberiannya tak sia-sia, pacarnya itu memang yang terbaik untuk dirinya.

Tidak ada gadis selain Hana di dunia ini, hanya Hana dan cukup Hana di hidupnya. Biarpun Hana selalu memasang wajah cemberut, tak suka, dan lainnya. Itu tak membuat perasaan cintanya untuk Hana pudar, bahkan berkurang sedikitpun tidak. Sama seperti buah jeruk, kadang asam dan kadang manis, itulah kisah cintanya saat ini. Karena Hana selalu memperlakukannya dengan begini, mungkin itu memanglah sifat Hana.

“Hana, sebentar lagikan hari peringatan kita yang ke-empat jadi-“

“-ya aku paham, sama seperti tahun lalu, kan?” potong Hana.

Refa mengangguk cepat. Hana tersenyum tipis, tipis sekali hingga Refa tak menyadari jika kekasihnya sedang tersenyum.

“Memuakan.”

“Eh? Apa? Kamu mengatakan sesuatu? Aku tidak mendengarnya.” tanya Refa.

Hana mengibaskan tangannya di udara, “ Lupakan, bukan sesuatu yang penting juga.” jawab Hana.

“Begitukah? Baiklah.” sahut Refa. ‘Tapi tadi aku rasa dia mengatakan sesuatu, tapi apa?’ batinnya.

Mereka terdiam, suara jangkrik di malam itu membuat Hana tak nyaman dan mengambil langkah pergi dari tempat itu. Refa yang terkejut ketika Hana pergi duluan,  dengan cepat menyusul kekasihnya. Kekasihnya itu, bisa dikatakan adalah mantan atlet di sekolahnya, sedangkan dirinya hanya seorang kutu buku. Dia bukan apa-apa dibandingkan dengan Hana. Hana jauh lebih bersinar, berbanding terbalik dengan dirinya. Ia itu bagaikan seseorang yang sedang mengikuti jejak bayangan dari sang sinar itu. Ia terus mengejar bayangan itu dari belakang, mengejar sang sinar dengan cepat, namun tetap saja sang sinar tak dapat terkejar. Ia kalah cepat, sungguh menyedihkan.

“Apa aku ini pantas dengannya?” gumam Refa.

*~*~*~*~*

“Refa Ravindra! Refa Ravindra!”

“Woi, lu dipanggil itu bego.” Ucap seseorang disisinya sembari melemparkan bola kertas.

“Eh?” jawabnya masih belum sadar.

“Bukan ‘Eh?’ tuh lihat ke depan, sensei manggil nama lu. Dua kali!” ucap teman disisinya sembari merotasikan bola mata dan menekan dua kata terakhir.

BLETAK

“Aduh.” Ringis refa seraya mengelus dahinya.

“Maju kamu!” perintah Sensei galak itu.
Dengan lemas, Refa bangun dari duduk lalu melangkah ke depan, seisi kelas menahan tawa mereka dikarenakan takut melihat sensei killer itu semakin marah.

“Kenapa melamun?” tanya Hans-sensei sembari menepuk-nepuk penggaris kuning di telapak tangan kanannya.

Refa menunduk, dalam hati ia merutuki perbuatannya, melamun di kelas pada saat pelajaran Sensei super galak ini. Ia menghela napas lelah, sudahlah, ini sudah terjadi, ia hanya bisa pasrah. Entah hukuman apa yang akan ia terima nanti.

Gomenasai, sensei.” jawab Refa pelan.

“Kamu tahukan apa yang haru kamu lakukan?” tanya Hans-sensei memasang senyum evilnya.
Iya iya, gue tau. Potong rumput sekolah, kan? Haha... hafal luar dalam banget deh.

REF:RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang