"Melihatmu aku merasakan dua perasaan sekaligus,sedih dan senang"
--Jerniati--
•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••
Pelukan hangat dan juga tawa santai. Sudah lama sekali kami tidak merasakan ini. Terakhir kali-yah,terakhir kali entah berapa tahun lalu. Itu saat kami masih menduduki masa-masa SMA. Saat itu kami menjadi remaja yang memiliki banyak waktu luang dan kosong untuk melakukan hal yang kami mau. Sayang sekali sejak masuk kuliah,perlahan-lahan mulai terkikis.
You know-lah alasannya.
Dio memangku cekatan Cacha. Cacha dengan manjanya mengikuti Dio dan duduk dipangkuannya. Terkadang aku berpikir bahwa Dio sudah sangat cocok menjadi seorang ayah.
"Kak Dio!!! Cacha miss you...muahh!" pekik Cacha. Efek Faris yang selalu berkunjung ke rumah dan bertemu Cacha, mungkin membuat Cacha suka mencampur bahasa seperti Faris.
Untunglah aku tidak ikut tertular...
"Cacha udah besar ajah," kata Dio.
"Iya dong kak. Cacha tuh rajin makan makanan bergizi. Makanya Cacha cepet geda dan jadi cantik dan pintar," ucap Cacha menyombongkan diri.
"Hahaha..."
Dio,Faris,dan Riduan tertawa mendengar ucapan Cacha yang menurutku sama sekali tidak benar. Bocah itu sangat susah dibujuk untuk makan.
"Kamu tuh gemesin banget,Cha," Riduan mencubit gemas pipi Cacha.
"Ihh,sakit kak!" sungut Cacha. "Eh,kakak gimana keadaan-nya kakak? Kakak sehat sehat aja kan selama di Amerika?"
Pria dengan hidung mancung,itu mengangguk. "Ya. Pekerjaan kakak juga lancar,"
"Syukur deh,bro! I kira you bakal tinggal di Amerika kalau problem perusahaan you di Amerika gak selesai selesai,"
Riduan tertawa kecil. "Sejak kapan kau ngomong kayak anak kecil ris? Pake mencampur bahasa gitu? Memalukan,"
Aku tertawa keras. "Ya! Ya! Itu benar! Dia memang memalukan,kau tau itu!"
"Dih! Ini smua gara-gara my mom yang iri sama anak teman SMA-nya jago bahasa inggris. Kalau aku tidak bisa berbahasa inggris,kalian tau," ucapnya.
Kami tertawa keras.
"Parah! Tante Iis sepetinya malu punya anak sepeti mu,"
"Kita smua tau," ucapku.
Raut wajah Faris menjadi kesal. Dia menatap sinis kami satu persatu. "Kalian semua sirik!"
Bukannya berhenti tertawa,justru tawa kami semakin menjadi-jadi. Tapi semuanya tiba-tiba berhenti saat Cacha merengek.
"Ihh,kakak kakak ganteng pada ribut! Cacha kebelet pipis,"
"Ya udah,ayok kakak temenin ke toilet," tawar Dio.
Cacha menggeleng. "Kakak pikir Cacha ini anak paud?! Cacha bisa kalik pergi ke toilet sendiri,"
Aku mendengus geli. Anak ini pura pura dewasa didepan Dio dan kawan kawan. Tapi reality di rumah,dia selalu mengetuk pintu kamarku tengah malam hanya untuk menemaninyanke toilet. Padahal di kamarnya ada toilet.
Astagah...
"Oh? Baiklah,kau tau tempatnya?"
"Aku akan bertanya pada pekerja di caffe ini,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Hujan
Teen Fiction"Belajarlah dari hujan. Meski berkali-kali jatuh ia tetap memberi kedamaian dan cinta. Seperti itulah aku," . . . . . . ©JerniatiSilalahi