Chapter 3

13 5 1
                                    

Rachel membuka pintu depan di rumahnya dengan enggan. Dia malas pulang ke rumah, karena.... Dia sendirian di rumah besar berlantai dua itu. Pelayan yang bekerja di rumah itu tinggal di pondok terpisah dengan rumah utama, dan mereka hanya ke rumah utama saat mengerjakan tugas mereka saja. Jadi, Rachel benar-benar sendiri. Benar-benar kesepian.

Gadis itu merebahkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Dia meletakkan tas nya dengan asal. Rasanya begitu lelah. Perasaannya campur aduk. Dia lega karena setidaknya dia tidak sendiri. Dia menemukan seseorang yang memiliki tujuan yang sama dengannya. Namun, dia juga sadar, semua tidak akan mudah mulai sekarang.

"Rachel."

Rachel terkejut mendengar suara mamanya. Sudah 1 bulan ini dia tidak bertemu dengan orang tuanya. Mereka begitu sibuk sampai melupakan keberadaan Rachel. Meski Rachel tahu, mereka sengaja menyibukkan diri agar bisa melupakan rasa sakit karena kehilangan kakaknya. Namun mereka jadi melupakan dirinya. Rachel juga terluka, Rachel juga kehilangan kakaknya. Bukankah seharusnya orang tuanya lebih memperhatikannya? Bukannya sibuk dengan diri mereka sendiri?

"Kapan mama pulang?" Tanya Rachel tak acuh. Dia kecewa dengan orang tuanya. "Kupikir kalian sudah lupa kalau ada anak bernama Rachel disini."

Widya -mama Rachel- mendekat dan memeluk putrinya. "Maafkan mama sayang, pekerjaan sedang banyak-banyaknya jadi mama tidak bisa pulang lebih sering. Papa juga sedang mengurus cabang baru Paris, jadi... kami tidak bisa sering-sering pulang."

Rachel melepaskan diri dari pelukan mamanya. Orang tuanya memang pebisnis yang luar biasa sibuknya. Sebelum kakaknya menghilang pun mereka tidak setiap hari dirumah. Paling cepat 3 hari sekali mereka pulang. Dan kalau sedang di luar negeri, bisa 2 minggu sampai 3 minggu baru kembali. Tapi sejak Raymond menghilang, mereka semakin jarang pulang. Menenggelamkan diri dalam pekerjaan agar tidak merasakan sakitnya kehilangan.

Mereka sudah berusaha sangat keras untuk menemukan Raymond, sampai menyewa detektif kelas atas untuk menemukan putra mereka, namun hasilnya tetap nihil. Penghuni asrama itu bagi di telan bumi, hilang. Tanpa jejak. Tanpa petunjuk. Tanpa kata-kata...

"Apa pekerjaan kalian lebih penting dari diriku ma? Rachel tahu, Rachel bukan anak kesayangan kalian, tapi apakah tidak keterlaluan kalau kalian meninggalkan Rachel disini sendirian? Rachel juga kehilangan kakak. Rachel juga merasakan sakit yang kalian rasakan! Kenapa kalian meninggalkan Rachel sendirian disini."

Widya terhenyak, dia baru menyadari kesalahannya. Ya, putrinya pasti juga menderita. Tapi mereka sebagai orang tua justru mengabaikannya. Hanya fokus pada penderitaan mereka sendiri.

"Maafkan mama Rachel. Mama begitu menderita kehilangan Raymond sampai mama tidak sadar kalau kamu juga menderita. Maafkan mama." Widya Meraih Rachel kembali dalam pelukannya. "Maafkan mama. Maafkan mama..."

Rachel menangis sesenggukan dalam pelukan mamanya. Selama ini dia selalu sendirian di rumah sebesar ini. "Mama tahu bagaimana aku menjalani hidup satu tahun ini? Mama tahu berapa banyak obat tidur yang sudah ku minum. Mama jahat!!"

Mereka akhirnya menangis bersamaan. Menumpahkan sakit yang tak kunjung mengering. Menyesalkan waktu yang telah berlalu. Saling mengisi perasaan masing-masing.

"Kenapa kalian menangis?" Darius -papa Rachel- baru saja memasuki rumah dan mendapati pasangan ibu-anak itu berpelukan dalam tangis.

"Ah, papa. Ini salah kita karena telah mengabaikan Rachel. Putri kita juga menderita, tapi kita malah meninggalkannya sendirian dirumah ini." Widya melepas pelukannya dengan enggan. Dia lalu membimbing Rachel agar duduk di kursi terdekat bersamanya. Dia kembali meraih Rachel kedalam rangkulannya. Rasanya dia tak ingin melepaskan Rache dari jangkauannya.

Red Orchid DormitoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang